Lihat ke Halaman Asli

Riski

Berusaha belajar untuk menjadi pelajar yang mengerti arti belajar

Menilik Konsep Kebahagiaan

Diperbarui: 24 September 2024   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

My Galery  (Dokpri)

Kebahagiaan itu abstrak. Ia hanya akan berlaku bila bersandar pada sesuatu. Artinya, eksistensi kebahagiaan mewujud apabila ada objek yang disandarinya. Namun, objek tersebut tidak selalu bersifat material, ia bisa berbentuk pengalaman, perasaan, hubungan, atau nilai-nilai yang kita yakini.

Manusia, dalam pencarian kebahagiaannya, sering kali bergantung pada hal-hal eksternal seperti pencapaian materi, status sosial, atau kesuksesan dalam karier. Misalnya, seseorang mungkin merasa bahagia ketika berhasil membeli rumah impian, memiliki pekerjaan bergengsi, atau mencapai pengakuan dalam masyarakat. Di sini, kebahagiaan muncul karena adanya objek konkret yang menjadi landasan atau sandaran. Namun, apakah kebahagiaan itu sejati dan bertahan lama, ataukah hanya sementara, sangat bergantung pada seberapa kuat ketergantungan kita terhadap objek eksternal tersebut.

Di sisi lain, ada juga kebahagiaan yang bersumber dari hal-hal yang bersifat non-material. Kebahagiaan yang muncul dari relasi yang baik dengan orang lain, perasaan cinta, kasih sayang, atau pengalaman spiritual yang mendalam. Pada kasus ini, objek kebahagiaan lebih bersifat emosional atau spiritual, di mana seseorang merasa bahagia karena merasakan kehangatan hubungan atau kedekatan dengan sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya. Dalam hal ini, kebahagiaan cenderung lebih dalam dan bermakna karena tidak semata-mata bergantung pada hal-hal eksternal yang bersifat sementara.

Namun demikian, karena kebahagiaan bersifat abstrak, ia dapat berubah-ubah tergantung pada bagaimana seseorang memaknainya. Misalnya, seseorang yang memiliki pandangan hidup materialistis mungkin akan mendefinisikan kebahagiaan sebagai memiliki banyak kekayaan. Di sisi lain, seseorang yang menganut pandangan hidup minimalis akan merasa bahwa kebahagiaan dapat ditemukan dalam kesederhanaan dan keikhlasan. Dalam konteks ini, objek kebahagiaan bisa sangat bervariasi antara individu satu dengan yang lain.

Kebahagiaan juga dipengaruhi oleh faktor waktu dan keadaan. Apa yang membuat seseorang merasa bahagia pada masa muda mungkin akan berbeda dengan apa yang membuatnya bahagia ketika telah dewasa atau tua. Pada usia muda, kebahagiaan mungkin lebih terkait dengan pencapaian prestasi, eksplorasi diri, atau petualangan. Sementara itu, di usia yang lebih dewasa, kebahagiaan bisa datang dari perasaan tenang, stabilitas dalam hidup, atau bahkan kebersamaan dengan keluarga dan orang-orang tercinta. Ini menunjukkan bahwa objek yang menjadi sandaran kebahagiaan bisa berubah seiring dengan perubahan fase kehidupan seseorang.

Tidak hanya itu, kebahagiaan juga sering kali dipengaruhi oleh persepsi dan pola pikir individu. Ada orang yang mampu merasa bahagia meskipun dalam keadaan yang serba kekurangan, sementara ada pula yang merasa selalu tidak puas meskipun telah memiliki banyak hal. Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan juga berkaitan dengan bagaimana seseorang menilai atau memaknai apa yang ia miliki. Seseorang yang selalu bersyukur atas apa yang ia miliki, cenderung akan merasa lebih bahagia dibandingkan dengan seseorang yang selalu menginginkan lebih dan tidak pernah merasa cukup.

Dalam psikologi, konsep kebahagiaan sering kali dikaitkan dengan kesejahteraan subjektif (subjective well-being), yaitu sejauh mana seseorang merasa puas dengan hidupnya dan sejauh mana ia mengalami emosi positif. Kesejahteraan subjektif ini sangat dipengaruhi oleh faktor internal, seperti pola pikir, keyakinan, dan sikap individu terhadap hidupnya. Oleh karena itu, meskipun kebahagiaan sering kali dipandang bergantung pada objek atau situasi eksternal, faktor internal juga memegang peranan penting dalam menentukan apakah seseorang dapat merasa bahagia atau tidak.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa kebahagiaan yang bersifat jangka panjang tidak hanya bergantung pada pencapaian materi atau kesuksesan eksternal, tetapi juga pada kemampuan seseorang untuk menemukan makna dalam hidupnya. Orang-orang yang merasa hidupnya memiliki tujuan dan makna cenderung merasa lebih bahagia, terlepas dari apakah mereka memiliki kekayaan atau status sosial yang tinggi. Dalam hal ini, kebahagiaan bersandar pada makna hidup yang lebih dalam, bukan hanya pada hal-hal yang bersifat duniawi dan sementara.

Sebagai contoh, seseorang yang mendedikasikan hidupnya untuk membantu orang lain atau bekerja untuk tujuan yang lebih besar daripada dirinya sendiri, sering kali melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang hanya fokus pada kepuasan diri. Kebahagiaan dalam konteks ini muncul dari perasaan bahwa hidupnya memiliki dampak positif terhadap orang lain atau lingkungan di sekitarnya.

Namun, karena kebahagiaan adalah sesuatu yang abstrak dan subjektif, tidak ada satu definisi atau resep kebahagiaan yang dapat berlaku untuk semua orang. Setiap individu memiliki jalannya masing-masing dalam menemukan kebahagiaan, dan apa yang menjadi sandaran kebahagiaan seseorang mungkin tidak relevan bagi orang lain. Hal ini mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejatinya adalah perjalanan pribadi yang melibatkan penemuan diri, refleksi, dan penyesuaian terhadap keadaan hidup yang terus berubah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline