Melihat dari aspek eksistensi (wujud) di realitas ini, kita akan menemukan dua wujud, yaitu wujud mandiri (statis) dan wujud berubah (dinamis). Wujud tetap/mandiri adalah ia yang dalam wujudnya tidak memiliki permulaan dan tidak memiliki akhir. Sedangkan wujud yang dinamis adalah ia yang dalam wujudnya memiliki permulaan dan memiliki akhir.
Kategori wujud ini menjelaskan bagaimana sebenarnya sistem eksistensi alam semesta ini. Bahwa seluruh yang ada di alam semesta ini, mesti meniscayakan memiliki wujud yang mandiri dan wujud yang berubah. Kategori wujud mandiri merupakan ia yang menjadi sebab bagi segala yang dinamis, sedangkan segala yang dinamis, selama ia mengada, ia akan terus membutuhkan wujud mandiri. Sebab, keberlanjutan eksistensinya bergantung secara mutlak pada wujud mandiri.
Dalam hal ini wujud mandiri yang dimaksud adalah Allah SWT.. Sedangkan wujud dinamis yang dimaksud adalah segala sesuatu selain dari Allah, yang merupakan sebab mutlak segala eksistensi. Allah, atau dalam agama lain menyebut-Nya dengan sebutan "Tuhan" adalah Ia yang eksistensi-Nya bersama dengan segala sesuatu selainnya namun tidak menyatu dengan selainnya, telah mengajarkan kepada kita bahwa kedirian kita hanya milik-Nya."
Sebagai makhluk yang dinamis, manusia menjadi salah satu pembahasan sentral yang perlu dibahas dalam posisinya sebagai makhluk dinamis. Dalam hal ini Pernyataan "kini saatnya aku menjadi manusia" dapat dikaitkan dengan konsep eksistensi yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam konteks ini, menjadi manusia bukan hanya soal eksistensi fisik atau biologis, melainkan soal memahami dan menyadari posisi kita dalam sistem eksistensi yang lebih luas.
Menjadi manusia berarti menyadari peran kita sebagai makhluk dinamis dalam hubungan dengan Wujud Mandiri, yaitu Allah SWT. Ini mengimplikasikan bahwa untuk benar-benar menjadi manusia, kita harus mengenali keterbatasan kita dan kebutuhan kita terhadap Wujud Mandiri. Dalam wujud dinamis kita, kita memiliki permulaan dan akhir, kita berubah dan berkembang, tetapi semua ini bergantung pada sesuatu yang lebih besar---yang tidak berubah, yang kekal.
Menjadi manusia juga berarti mengakui tanggung jawab eksistensial kita. Kita tidak hanya ada untuk diri kita sendiri tetapi untuk menjalankan peran yang ditetapkan oleh Wujud Mandiri. Ketika kita mengatakan "kini saatnya aku menjadi manusia," kita mengakui bahwa kita siap untuk memahami tujuan keberadaan kita, yaitu hidup sesuai dengan fitrah kita, menjalani kehidupan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dan menyadari bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus berorientasi pada kebenaran dan kehendak-Nya.
Dengan kata lain, menjadi manusia sepenuhnya berarti melangkah ke dalam kesadaran spiritual dan eksistensial yang lebih tinggi. Ini adalah saat kita mulai melihat hidup kita dalam perspektif yang lebih luas, memahami keterhubungan kita dengan Tuhan, dan menjalani kehidupan yang bukan hanya berdasarkan keinginan dan kebutuhan material, tetapi juga berdasarkan nilai-nilai moral dan spiritual yang tinggi.
Dalam hal ini menjadi manusia adalah seruan untuk bertindak dan hidup dengan kesadaran penuh akan hubungan kita dengan Tuhan sebagai Wujud Mandiri, dan untuk menjalani kehidupan yang selaras dengan kehendak-Nya. Ini adalah panggilan untuk memanfaatkan kemampuan berpikir, merenung, dan memahami, sehingga kita dapat hidup sebagai makhluk yang benar-benar sadar akan tujuan eksistensialnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H