Jika dilihat dari aspek klasifikasi, Pembagian dzt biasanya merujuk pada dua makna, yaitu:
1.Dzt dalam Pembahasan Isaguji (Lima Universal)
Dzt dalam konteks ini merujuk pada sifat atau esensi yang melekat pada sesuatu secara inheren dan tidak berada di luar dari sesuatu itu. Dengan kata lain, dzt dalam isaguji mencakup sifat yang merupakan bagian dari hakikat sesuatu, baik sebagai keseluruhan maupun sebagai bagian dari sesuatu tersebut. Bagian ini bisa berupa sesuatu yang bersifat musytarak (memiliki kesamaan dengan yang lain) atau mukhtash (memiliki kekhususan tersendiri).
2.Dzt dalam Pembahasan Burhn (Pembuktian Demonstratif)
Dzt dalam burhn digunakan dalam konteks logika dan pembuktian untuk menunjukkan sifat esensial yang tidak bisa dipisahkan dari sesuatu yang dibuktikan. Dalam pembuktian demonstratif, dzt membantu dalam memahami dan membuktikan hakikat sesuatu melalui argumen yang kuat dan logis.
Dengan demikian, pemahaman dzt dalam kedua pembahasan ini membantu dalam mengidentifikasi sifat dan esensi yang melekat pada sesuatu, baik dalam konteks lima universal (isaguji) maupun dalam pembuktian logis (burhn).
Dari kedua klasifikasi di atas, penulis akan membahas konsep dzt dalam pembahasan Isaguji menurut pandangan Ibnu Sina, Mulla Sadra, Akhun Mulla Muhammad Kzhim Khurrsn, dan Allamah Thabathaba'i.
Menurut Paripatetik; Aristoteles, dan dilanjutkan oleh Ibnu Sina, esensi (dzati) dari manusia terdiri dari tiga unsur utama: genus, spesies, dan diferensia. Genus merujuk pada kategori umum yang mencakup manusia, seperti hewan. Spesies menunjukkan kelompok spesifik, yaitu manusia sebagai makhluk rasional. Diferensia adalah karakteristik yang membedakan manusia dari spesies lain dalam genusnya, yaitu kemampuan berpikir rasional. Kombinasi dari ketiga unsur ini membentuk esensi manusia, yang mencakup identitas dasar yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Dengan demikian antara manusia dan hewan raiosal tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Menyebut manusia berarti kita menyebut hewan raiosal, dan menyebut hewan raiosal berarti kita sedang menyebut manusia. Yang artinya manusia dan hewan raional adalah esensi dari manusia.
Menurut Mulla Sadra, esensi (dzati) dari manusia adalah gerak, sebuah konsep yang menandai pergeseran signifikan dalam filsafat Islam. Berbeda dengan pandangan klasik yang melihat esensi sebagai sesuatu yang statis dan tidak berubah, Mulla Sadra memperkenalkan teori "gerak substansial" (al-harakat al-jawhariyyah). Dalam pandangan ini, segala sesuatu dalam alam semesta, termasuk esensi manusia, berada dalam keadaan terus-menerus berubah dan berkembang.
Gerak dalam konteks ini tidak hanya merujuk pada perubahan fisik tetapi juga mencakup perubahan esensial dan eksistensial. Bagi Mulla Sadra, esensi manusia tidak statis; ia mengalami transformasi terus-menerus dalam proses eksistensinya. Manusia bergerak dari potensi ke aktualisasi, dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan, baik dalam aspek fisik, intelektual, maupun spiritual. Gerak ini mencerminkan perjalanan eksistensial manusia menuju tujuan akhir, yaitu kesatuan dengan Yang Maha Esa.