Lihat ke Halaman Asli

Mitos atau Fakta: Menyandang Nama Terlalu Berat, Partai Menjadi Sakit-Sakitan

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Topik: Susahnya menjaga amanat nama

Mitos atau Fakta: Menyandang Nama Terlalu Berat, Anak Partai Menjadi Sakit-Sakitan

Di alam Indonesia ini, banyak berkembang kepercayaan-kepercayaan. Beberapa diantaranya sudah dibuktikan tidak ilmiah dan hanya menjadi mitos, tetapi ada juga kepercayaan yang bisa dibuktikan secara ilmiah dan menjadi fakta. Dan ada juga kepercayaan yang masih simpang siur, antara mitos dan fakta, ini masih menjadi kontroversial di masyarakat, ada yang pro dan ada yang kontra.

Satu diantara kepercayaan yang berkembang di tanah jawa, adalah berkenaan dengan pemberian nama anak. Bagi orang tua dan keluarga saya, pemberian nama masih merupakan tradisi penuh pertimbangan, karena nama adalah doa, orang tua selalu berharap si buah hati akan menjadi orang yang mampu menjadi sesuai harapan dalam doa tersebut.

Pemberian nama, konon kata orang tua saya, janganlah terlalu berat. Makna berat disini adalah harapan yang luar biasa muluk, misalnya berkenaan dengan kesalihan yang sangat tinggi, kesucian yang terlalu tinggi, integritas yang melangit. Nama yang terlalu berat ini, akan berefek pada si anak yang mudah jatuh sakit, begitu mitosnya.

Bagi saya, kepercayaan tidak boleh memberi nama anak terlalu berat, masih cukup ilmiah ditinjau dari sisi ilmu psikologi. Nama yang terlalu berat akan menjadi beban luar biasa bagi perkembangan kejiwaan anak. Anak akan berusaha menjaga nama beratnya dengan segala cara apapun demi citra suci nama, si anak akan lebih mengutamakan mencitrakan dirinya sempurna daripada bertindak jujur sesuai hati kecilnya. Si anak dipaksa oleh orang tua menjadi sosok suci seperti namanya, tidak diberikan ruang toleransi untuk belajar, ruang belajar untuk melakukan kesalahan, dan ruang kebebasan menjadi dirinya sendiri, yang unik, kreatif, bandel, cerdik, lincah, tanpa harus terpatok pada nama yang disandangnya.

Dari sudut pandang orang lain yang mengenal nama berat si anak, tentu akan menjadikannya sebagai standart norma yang dikenakan kepada si anak, sedikit saja si anak menyimpang dari nilai-nilai kesucian namanya, maka orang lain tak akan segan mengatakan: nama dan perilakunya tak sesuai. Terlepas penghakiman ini adil atau tidak jika dihubungkan dengan anak-anak lain yang juga melakukan kesalahan yang sama, namun inilah konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh si anak. Karena itu, tak jarang anak yang menyandang nama berat mengalami psikosomatis, gangguan kesehatan yang disebabkan oleh terganggunya psikologis.

Solusi dari psikosomatis karena problematika kesalahan pemberian nama yang berat, orang tua menyarankan agar nama tersebut diganti, kemudian melaksanakan tasyakuran. Nama yang disiapkan sebagai pengganti, idealnya harus nama yang tetap mengandung kebaikan, tetapi juga memberikan ruang toleransi kepada anak untuk bebas berperilaku, tidak memaksa anak untuk mencitrakan diri sesuai nama, dan nama tersebut sebaiknya bersahaja.

Alangkah elok, anak dengan nama bersahaja, nama yang sederhana, namun memberikan manfaat bagi TUHANnya, sesama MANUSIA, dan ALAM sekitar. Sekian, salam hormat untuk admin dan rekan-rekan kompasioner

NB: GANTI KATA “ANAK” DENGAN KATA “PARTAI”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline