Demikian ungkap ‘mpok’ pekerja rumah tangga di tempat kostku. Dengan bersemangat Ia bercerita baru saja mengikuti kampanye salah satu partai politik di kawasan Senayan. Aku yang seumur-umur belum pernah mengikuti kampanye selain melihat arak-arakan massa di sepanjang jalan dengan antusias menyimak pengalaman Si mpok. “Wah, enak ikut kampanye, dikasih duit lima puluh ribu” ujarnya dalam logat betawinya yang kental. “Terus, mpok bakal nyontreng partai itu dong pas pemilu ntar?” ledekku usil, “kalo’ itu mah belum tau”, jawabnya, nah lho. Lebih jauh mpok dengan kepolosannya bertutur bahwa Ia sedang bersiap untuk mengikuti kampanye dari partai lainnya, “biasanya ngasih lima puluh ribu, tapi kalau Partai Tiitt.. cuma ngasih empat puluh ribu, malah ada yang ngasih dua puluh lima ribu”, hmm.. sepertinya aku bisa menebak partai yang dimaksud.
Mendengar jumlah uang yang ‘dibagi-bagikan’ otakku langsung mengkalkulasikan, kira-kira dalam satu kampanye yang dihadiri sekian ribu orang, satu partai harus merogoh kocek seberapa dalam ya?. Semua belum termasuk biaya transportasi, logistik, jasa keamanan ditambah biaya untuk menghadirkan artis-artis dan group band kondang yang konon memasang tarif mahal untuk menggoyang panggung kampanye. Di lain pihak, perhelatan akbar berupa kampanye dari setiap partai peserta Pemilu mungkin mendatangkan rezeki untuk ‘orang-orang kecil’ seperti mpok. Namun bagi setiap partai politik, termasuk di dalamnya kader-kader dan Calon Legislatifnya mungkin merupakan saat-saat berat dan menuntut kemapanan secara fianansial. Terutama bagi mereka yang mungkin merupakan pengalaman pertama dan belum sepenuhnya siap untuk terjun ke dalam politik praktis.
Beberapa waktu yang lalu saat melintas di jalan raya Bekasi aku menyaksikan seorang pria paruh baya tengah duduk di pinggir jalan dan berbicara dengan penuh semangat, telunjuknya mengarah keatas dan sesekali tangannya mengepal. Tanpa perlu dijelaskan pun semua telah maklum bahwa pria ini menderita gangguan jiwa (meski megenakan pakaian yang cukup rapih dan bersih berupa batik dan celana panjang serta peci). Saat itu yang terpikir olehku adalah, mungkin dia adalah salah seorang calon legislatif yang gagal terpilih lima tahun yang lalu…
Riska S. Handayani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H