Lihat ke Halaman Asli

Konsumtivisme Akut

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu yang lalu seorang teman bercerita bahwa dia baru saja mengantar seorang teman yang lain membeli sebuah TV di pusat perbelanjaan elektronik terkenal di Jakarta. Perlu waktu cukup lama bagi dia dan temannya untuk berkeliling, survey harga dari satu tempat ketempat lainnya untuk mendapatkan harga yang termurah. Akhirnya pilihan jatuh pada sebuat TV bermerk ¨Tiit..¨ berukuran 32 inchi seharga 2,8 juta rupiah, itupun masih ditambah embel2 hadiah voucher senilai 250 rb. Menariknya pada saat yang bersamaan seorang presenter ternama juga sedang berbelanja di tempat tersebut dan yang menjadi incarannya adalah sebuah TV plasma. hanya butuh waktu "satu episode" (meminjam istilah teman yang mengantar) buat dia untuk menjatuhkan pilihan pada sebuah TV seharga 30 jt-an! dan berkata pada sales counter "saya mau yang ini"!, "sementara aku dan temanku perlu beberapa putaran untuk mendapatkan yang termurah (2,8 jt) bo'! celetuknya. Selang beberapa hari sebelumnya teman sekantorku juga membuat kehebohan, dia baru saja membeli parfum. Sekedar membeli parfum mungkin adalah hal yang jamak dan biasa dilakukan oleh hampir semua orang, yang luar biasa adalah dia mengeluarkan dana sebesar 2 jt rupiah untuk 4 botol parfum dengan sekali merogoh kocek. Mungkin bagi beberapa orang nilai itu tidak seberapa dan lumrah untuk nilai tukar parfum-parfum impor berkelas, bahkan salah satunya bermerk artis terkenal (yang juga putri milyuner ternama). Tapi sungguh, bagi orang-orang kecil diluar sana jumlah rupiah yang dikeluarkan untuk 4 botol parfum tersebut akan mampu menghidupi mereka selama berbulan-bulan. Taruhlah upah seorang buruh kasar sebesar 15 rb perhari yang digunakan untuk menopang kehidupan keluarganya, maka harga 4 botol parfum tersebut sudah mampu menghidupi mereka selama 4 bulan lebih!. Aku hanya mencoba merefleksikan diri, sudah cukup bijakkah cara berbelanjaku selama ini? sudahkah barang-barang yang kubeli atau yang "terbeli" sesuai dengan kebutuhan?. Harus diakui memang terkadang aku membeli sesuatu dengan harga relatif mahal hanya karena aku ingin membelinya, bukan karena aku membutuhkannya. Ada baiknya mengintrospeksi diri dan mereview lagi, adakah tabiat konsumtivisme berlebihan yang kerap menjangkiti setiap individu dimana faktor gengsi adalah alasan yang seringkali dijadikan pembenaran juga bersarang dalam diri kita?. Bersyukur dengan semua yang telah kita miliki dan lebih banyak berbagi dengan sesama yang tidak seberuntung kita dalam hal materi mungkin dapat menjadi obat untuk penyakit psikis yang satu ini!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline