Lihat ke Halaman Asli

Doa: Antara Konflik Mayoritas dan Minoritas di Sekolah

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

20 Oktober lalu pemerintahan baru Indonesia telah dilantik, Joko Widodo dan Jusuf Kalla resmi dilantik menjadi Presiden ke  7 dan Wakil Presiden ke  9 Republik Indonesia ini. Pada periode November awal Presiden dan Wapres telah mengumumkan menteri  menteri di kabinetnya. Menariknya di tengah kegaduhan dunia politik di Indonesia, dimana di lembaga legislatif masih belum berdamai, lembaga eksekutif seakan langsung tancap gas untuk memulai bekerja.

Beberapa menteri di Kabinet Kerja Jokowi  JK sudah melakukan agenda kerja dan memutuskan suatu kebijakan tanpa berkompromi dengan lembaga legislatif DPR RI. Kebijakan Kabinet Kerja Jokowi tersebut ada yang menuai pro dan kontra, contoh terbesar ketika pemerintahan Jokowi JK menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 2.000,-, penolakan terjadi dimana  mana, penenggelaman kapal ikan asing,hingga terakhir pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan yang membuat salah satu ustadz tersohor di Indonesia ini kelabakan jenggot alias marah.

Pernyataan Anies Baswedan ketika diwawancarai akan menertibkan doa  doa di sekolah  sekolah karena dirasa mendiskriminasikan minoritas membuat Ustadz Yusuf Mansyur bereaksi melalui akun jejaring sosial twitter miliknya. Tercatat kicauan dengan nada marah dan kecewa mulai dari "Saya dulu diem. dan ngebela siapapun yg memerintah. tapi kalo sampe nyentuh udah urusan kayak doa di awal pg di sekolah2, males banget diem," hingga yang tampak frontal ampun asli pengen segera pilpres lagi , beliau utarakan merespon pernyataan Anies Baswedan yang akan menertibkan doa di sekolah.

Ustadz Yusuf Mansyur berpendapat doa terutama bagi yang beragama islam merupakan pembelajaran awal di pendidikan, jadi tidak ada salahnya. Jika itu akan dilarang maka negara dan pemimpin ini telah melecehkan agama islam sebagai mayoritas agama di Indonesia. Maka yang terjadi murka dari Allah akan hadir pada negara ini.

Memang pernyataan Anies Baswedan ini ada yang mendasarinya, dimana ada laporan ketidaknyamanan dari segolongan minoritas yang merasa didiskriminasikan. Namun oleh sebagian orang ditangkap dengan pernyataan yang berbeda termasuk oleh Ustadz Yusuf Mansyur sendiri.

Jika mengacu pada UUD 1945 pasal 28 E ayat (1) berbunyi Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkanya, serta berhak kembali. Serta ayat (2) berbunyi Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya., mengenai kebebasan beragama dan melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinannya masing  masing. Dan pasal 28 ini mutlak harus dipenuhi karena merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) dasar manusia sejak lahir, bahkan PBB sudah menuangkannya dalam kesepakatan Piagam HAM internasional bernama Declaration Of Human Right.

Di sisi lain, kebebasan dalam mengekspresikan hak dasar manusia ini setiap warga negara Indonesia wajib tunduk pada aturan yang berlaku yaitu konstitusi dalam hal ini undang  undang yang ada. Supaya kebebasan dalam mengekspresikan hak individu tersebut tidak merugikan orang lain, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 28J ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara., serta Pasal 28J ayat (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokaratis.

Dari konstitusi dasar negara Indonesia ini, jelas disebutkan bahwa negara Indonesia bukan suatu negara yang berlandaskan keislaman saja, karena di Indonesia ini masih terbatas kaum  kaum minoritas yang juga perlu dihormati haknya. Jadi ketika ada masyarakat yang mengadu atas ketidaknyamanan dan merasa didiskriminasi oleh pihak sekolah dengan adanya doa melalui pengeras suara yang keras itu wajar, hanya persoalan ini perlu disikapi dengan bijak.

Doa merupakan bagian dari ibadah, itu konsensus di semua agama tak terkecuali islam. Semua orang berhak untuk mengekspresikan kepercayaannya, dan memang dalam agama islam sendiri perintah doa langsung diturunkan Allah, dan termaktub pada kitab suci Al Quran Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan (doa) bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong diri dari beribadah (berdoa) kepada-Ku, akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina (QS. Al-Mukmin/Ghaafir: 60).. Namun islam sendiri pun juga mengajarkan pentingnya tolerir, jangan sampai ketika manusia ingin mendekatkan diri kepada Allah Tuhannya tapi justru merugikan sesama manusia itu sendiri. Menghargai perbedaan sudah diajarkan Nabi Muhammad Saw dan bahkan Allah memfirmankan dalam QS Al Kafiruun 6 Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.

Jika berkaca pada kasus pernyataan Mendikdasmen tadi, seharusnya pemerintah melalui sang menteri berhati  hati dalam mengeluarkan pernyataan yang tanpa disertai penjelasan panjang lebar terlebih ini merupakan isu sensitif SARA. Lebih baik menertibkan doa dengan cara memberi kesempatan untuk agama lain dikumpulkan jadi satu, kemudian dipimpin bersama  sama untuk berdoa sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, layaknya mayoritas agama islam di sekolah itu. Serta pastikan tidak hanya non islam yang menjadi objek, tapi pastikan juga islam yang merupakan minoritas di beberapa daerah juga harus mau melakukan toleransi itu. Mungkin cara paling aman dan menghargai kebersamaan alangkah baiknya doa itu dilakukan di dalam hati masing  masing, tanpa pengeras suara.

Dengan demikian mereka yang merupakan minoritas di tempat tersebut akan merasa lebih dihargai. Dari kasus pernyataan Mendikdasmen dan Ustadz Yusuf Mansyur ini kita diberi pembelajaran bagaimana seandainya berada di pemerintah selaku pengambil kebijakan haruslah mengeluarkan pernyataan yang bijak dan berhati  hati disertai dengan penjelasan yang tidak setengah  setengah. Di sisi lain sebagai mayoritas umat islam di Indonesia, janganlah merasa menjadi mayoritas lalu mengambil haknya minoritas, pikirkan bagaimana anda ketika berada di tengah  tengah mayoritas juga. Taat beragama itu suatu hal yang bagus, tapi fanatisme buta terhadap satu agama itu juga tidak baik. Satu pelajaran berharga yang diambil pula dari sikap sang ustadz yaitu kemauan untuk mengakui kesalahan meskipun beliaunya merupakan figur ternama dan menjadi panutan masyarakat. Hal itu membuktikan tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, sekalipun ia merupakan ulama atau ustadz besar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline