"Pusing bgt dah, tidur mulu"
"Kesel bgtt, ada seekor lalat yang masuk ke dalam kamar terus berisik lagi. Hih ganggu"
Beberapa kalimat diatas merupakan hasil cuitanku di akun twitter beberapa hari yang lalu. Tak kusangka, ternyata tweet yang aku buat selang beberapa detik ini memancing kekesalan salah satu followers. Dia mescreenshoot kedua tweet ini dan ia posting kembali dengan menyematkan kata-kata yang cukup membuat hatiku ciut dalam beberapa menit.
Katanya "Ngeluh wae hirup teh, tidur aja ngeluh" artinya 'Hidup mengeluh terus, tidur aja ngeluh". Kira-kira seperti itu intinya. Sebenarnya, aku tidak mempermasalahkan atas balasan tersebut atau kesal sedikit pun yang tersimpan di palung hati. Aku tidak marah terhadap followersku. Serius!
Batinku terpukul untuk sadar, betapa lemahnya diriku hanya tidur dan ada seekor lalat yang masuk saja kesal. Keluhanku sangat tidak masuk akal dilontarkan di tengah wabah ini.
Tidakkah sadar, betapa banyak manusia di luar sana yang ingin tertidur lelap dan ingin tetap berada dalam ruangan. Menghindari kontak fisik dengan manusia lainnya, namun sayang keadaan tidak memungkinkan hingga memaksa mereka untuk beraktifitas.
Tak hanya itu, ada sekian juta manusia yang mungkin harus hidup ditengah lalat yang berterbangan. Tidakkah anda bersyukur hanya kedatangan satu lalat saja? Aku merenung sejenak. Apa yang salah dengan lalat tersebut? Kenapa dia yang harus disalahkan? Dan bagaimana ia bisa masuk ke dalam ruangan ini?
Berpikir keraslah diriku sembari rebahan terus-menerus hingga pinggang sakit dan terpaksa harus dipakaikan koyo. Berjam-jam rebahan dengan jari tangan masih sibuk menscrool sosial media mulai dari twitter, instagram, whatsapp, facebook, dan kembali lagi ke whatsapp. Amazingly!
Waktu semakin berlalu, kamar tetap berantakan, lalat masih berterbangan, hingga piring-piring bekas sahur tadi malam belum sempat dicuci. Aku rebahan sepanjang hari! waktuku terbuang sia-sia dengan menatap layar smartphone tiada henti. Sungguh merugi sekali dirimu..
Tersadarlah diriku, disepersekian menit menjelang berbuka. Saya, ternyata penunda waktu paling ulung. Hingga tak sadar hari sudah menjelang malam saja dan hampir menunju pagi lagi. Kata tersebut ku sematkan di salah satu kolom komentar untuk mengungkapkan siapa diriku di tengah pandemi ini.
Seharusnya diriku tidak mengeluh pada keadaan, apalagi harus mengumbar keluhan pada khalayak. Kuletakkan gawaiku, bangunah diriku dan mulai bergerak untuk merapikan seprai yang sejak tadi sudah tidak keruan bentuknya.