Lihat ke Halaman Asli

Dilema Tukang Koran

Diperbarui: 4 Agustus 2017   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

duniatraining.com

Setapak masih kujejaki dengan perlahan terkadang kaki kecil ini sedikit menghempas krikil di jalanan. Sisa koran hari ini masih sekira setumpuk aku eratkan di dada yang mulai sesak akan teriknya matahari. Ditambah kerongkongan yang terasa akan putus karena haus. Kurobek beberapa halaman koran yang sengaja kugunakan untuk menghapus cucuran keringat yang mulai mengalir ke tubuh.

Sejenak, aku terhenti dan terduduk di tepi bantaran kali kecoklatan yang dipenuhi dengan apungan sampah-sampah. Kupandangi koran-koran yang hanya terjual beberapa saja. Ah, kenapa sepi sekali pembeli koran hari ini. Sudah tidak tertarikkah dengan untaian kata-kata di kertas buram ini. Sudahlah lupakan saja. Seribu.. Dua ribu.. Lima ribu.. Duabelas ribu.. Aku susun rapih setiap helai rupiah ini dan kusimpan di saku kemeja lusuh yang kukenakan.

***

Selayaknya malam-malam terdahulu, tak begitu berbeda pada gelapnya malam kini. Sedikit beras aku tanak tadi pagi, masih menyisakan semangkuk nasi dan lauk adalanku, tahu goreng yang sengaja aku beli sekembalinya dari menjajakan koran.

"Han, kau sudah makan?" aku terperanjat, ketika seseorang datang dari gubuk reot ini.

"Hari ini lupa membali makan, bolehlah saya minta sedikit, " pinta manusia yang memang rutin memohon berbagi jatah makanku dengannya. Aku kesal. Dikemanakan uang hasil kerjanya, selalu saja beralasan tak punya uang, tak sempat membeli dan ratusan alibi yang dia kemukakan.

Suap, dua suap ia melahap cepat tahu gorengku. Rasanya ingin menangis, jerih payahku hari ini tak sempat kunikmati. Rasanya aku ingin mengupat kasar depan lelaki betubuh tambun ini. Persetan kau! Tapi niat tersebut aku tiup sejauh mungkin, hingga hati kesalku mulai mereda.

"Makanlah dengan perlahan.. Tak baik terburu-buru," ucapku sembari menyuap nasi besar-besar ke mulutku.

Andai saja, beberapa tahun yang lalu aku berdamai dengan ayah tiriku dan tetap bersekolah. Tak kan seperti ini jadinya. Seharusnya dulu aku tulikan saja telingaku pura-pura tak mendengar kata kasar yang setiap harinya terlontar dari lelaki itu. Tetapi dengan tegas aku meninggalkan rumah tanpa pamit dan berlari ke pulau nun jauh dari asalku.

Tidur beralaskan tikar bekas buangan masyarakat,  rumah berdinding kardus,  beratapkan sehelai asbes yang kutemukan di tumpukan pembuangan sampah. Aku meringkuk dalam selimut kain putih yang telah berubah warna menjadi hitam legam. Kain ini cukup berharga,  inilah satu-satunya harta warisan yang aku punya dari almarhum ibuku. Ibuku telah berpulang ke haribaan dengan meninggalkan anak kandungnya bersama ayah tiri yang menghidupi dirinya saja susah.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline