Anak adalah kekayaan bangsa. Mereka sangat berharga. Anak adalah agent of change pembangunan.
Maka sudah menjadi kewajiban bagi bangsa dan orang tua untuk menjamin setiap anaknya memperoleh akses pendidikan yang layak serta peluang untuk tumbuh sehat agar kelak mampu membangun peradaban bangsa.
Namun, apa jadinya jika waktu yang semestinya mereka gunakan untuk belajar malah mereka habiskan untuk bekerja?
Indonesia telah 77 tahun merdeka dari belenggu penjajah. Namun, bangsa ini masih perlu memerdekakan diri dari belenggu lainnya, salah satunya adalah belenggu pekerja anak.
Pekerja anak kadang-kadang terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena harus ikut menopang ekonomi keluarga. Hilangnya akses terhadap pendidikan menyebabkan anak-anak memiliki daya saing dan kualitas SDM yang rendah di masa mendatang, sehingga pendapatan yang diperoleh pun rendah.
Penghasilan yang rendah membuat mereka tetap berada pada lingkaran kemiskinan dan akhirnya mempekerjakan anak-anak mereka. Begitu seterusnya, sehingga terbentuk siklus kemiskinan dan pekerja anak yang sudah semestinya kita putus mata rantainya.
Belenggu pekerja anak masih ada sampai saat ini karena adanya pemikiran bahwa pekerjaan yang dilakukan anak merupakan salah satu bentuk pengembangan diri dan kewajiban moral terhadap keluarga.
Tidak semua orang beranggapan bahwa setiap anak yang bekerja merupakan pekerja anak. Lalu, apa sebenarnya definisi dari pekerja anak?
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan pekerja anak sebagai semua penduduk yang berusia 5-17 tahun, yang selama jangka waktu tertentu, terlibat dalam satu atau lebih dari kegiatan kategori berikut:
(1) bentuk-bentuk terburuk pekerja anak;
(2) pekerjaan di bawah usia minimum untuk bekerja;
(3) pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar dan berbahaya.
Di dalam laporannya, ILO dan UNICEF menyebutkan bahwa pada tahun 2020, jumlah pekerja anak di seluruh dunia adalah sebesar 160 juta jiwa, atau meningkat sebesar 8,4 juta jiwa dalam empat tahun terakhir.