"Riska, dulu sekali... waktu mata uang masih Gulden..."
Saya tidak pernah punya kenangan tentang bagaimana rasanya memiliki seorang Kakek maupun Nenek sebelumnya. Tapi pasangan saya (saat itu, th 2008) masih mempunyai seorang Nenek yang kebetulan masih tinggal bersamanya, dan itu terasa sama menyenangkannya. Yeay!
Saya cukup sering bertemu dengan Eyang, begitulah saya akrab memanggilnya. Di tiap ada kesempatan, saya banyak menghabiskan waktu dengan Eyang di meja makan. Entah itu untuk membantu menyiapkan makanannya, atau sekedar menemaninya makan / minum teh sambil mendengarkan cerita-cerita saat Belanda masih menjajah Indonesia. Yap! Eyang suka sekali bercerita, banyak sekali hal yang diceritakan meskipun sebagian seringkali diceritakan ulang.
Di usianya saat itu (90+) Eyang masih mampu berpergian keluar kota untuk menengok anak-anaknya walaupun Eyang sudah menggunakan alat bantu untuk berjalan dan tidak jarang membutuhkan kursi roda. Kadang Eyang akan pergi ke Jakarta, Bogor, Jogjakarta, kemudian kembali lagi menetap di Bandung untuk beberapa waktu sebelum akhirnya berpergian kembali. Tentunya, selama melakukan perjalanan Eyang akan selalu di dampingi oleh salah seorang anggota keluarga, hehehehe.
Eyang juga suka sekali menulis, Saya banyak melihat catatan di kamarnya. Bisa jadi itu kumpulan nomor telepon, kumpulan info tanggal lahir anak cucunya, atau kumpulan surat yang beliau tulis untuk teman temannya. Saat itu pasangan saya adalah "tukang pos" andalan Eyang untuk mengantarkan surat-surat Eyang kepada teman-temannya di Bandung. Mungkin, karena rajin menulis itulah, daya ingat Eyang terbilang masih sangat bagus, Eyang selalu bisa mengingat tanggal lahir anak cucunya, termasuk saya, dengan baik. Rasanya, banyak sekali hal yang bisa Eyang tulis saat berada di kamarnya.
Lalu, tahun - tahun berganti.
Saya dan pasangan saya (saat itu, th 2012) setelah 4 tahun bersama akhirnya memutuskan untuk berpisah. Oleh karena itu, saya tidak dapat lagi menemui Eyang sesering biasanya. Namun, pernah satu kali saya ingat di hari ulang tahun Eyang, saya datang membawakannya kado beberapa toples stroopwafel, wafel khas Belanda yang cocok sekali untuk dijadikan teman minum teh tawar hangat. Karena khawatir tidak punya banyak kesempatan lagi untuk bisa datang menemani Eyang seperti sebelumnya, maka harapan saya semoga stroopwafel itu mampu menjadi teman baiknya lagi sama seperti waktu Eyang di masa mudanya saat "tea time".
Lucunya, seperti tukar kado, Eyang juga memberikan saya sebuah amplop kecil berisi surat dengan nama saya tercantum di pojok amplopnya "Riska". Suratnya seperti sudah ditulis cukup lama, namun kesempatan untuk memberikannya langsung kepada saya mungkin baru ada di hari itu.
Isinya beberapa nasihat manis. Salah satunya, tentang bagaimana seorang anak gadis harus mampu merawat dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki (Eyang juga menuliskan cara mengaplikasikan daging lidah buaya ke rambut), juga nasihat dimana seorang wanita pekerja harus bisa membagi waktu antara keluarga dan karirnya.
Saya selalu bahagia memiliki surat itu. Seperti harta karun yang berharga, saya menyimpannya baik-baik. Karena apa? Tentu saja karena itu adalah surat pertama yang saya dapat dari seorang Nenek.
Dan..
Tahun-tahun kembali berganti.
Kabar tentang Eyang sesekali saya terima melalui sebuah pesan singkat dan itu selalu seputar kesehatan Eyang yang mulai menurun. Sampai kemudian, saya memutuskan untuk datang lagi menemui Eyang namun, kala itu bukan di rumah seperti biasa yang saya lakukan dulu, melainkan di salah satu Rumah Sakit di Bandung. Di perjalanan menuju Rumah Sakit, saya memikirkan keadaan canggung yang mungkin saja tercipta karena saya dan Eyang sudah cukup lama tidak bertemu. Apakah Eyang akan bertanya kemana saja saya selama ini, atau bertanya kenapa saya sulit meluangkan waktu untuk menemuinya selama ini atau bahkan menanyakan hal-hal yang mungkin saya tidak siap untuk menjawabnya nanti, Duh, memikirkannya saja sudah cukup membuat saya gugup bukan kepalang. Padahal,bertemu dengan Eyang saja pun belum.