Data medis atau rekam medis merupakan salah satu hal yang penting dalam menentukan diagnosis dan juga memantau perkembangan kondisi pasien. Data medis harus dikelola dengan sangat hati-hati dan sesuai dengan etika medis. Dalam beberapa kasus terdapat kasus manipulasi data medis oleh dokter untuk kepentingan pribadi, seperti mengubah diagnosis, menulis informasi palsu, hingga melaporkan klaim yang tidak sesuai demi keuntungan pribadi. Kejadian seperti ini tidak hanya melanggar kode etik kedokteran, tetapi juga berpotensi mengancam keselamatan pasien. Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi yang fatal. Jika seorang dokter mengubah informasi medis atau memberikan diagnosis yang keliru demi kepentingan pribadi, maka dampaknya bisa sangat merugikan. Pasien yang menerima perawatan berdasarkan informasi yang tidak akurat dapat berisiko mengalami komplikasi yang serius atau bahkan kehilangan nyawa.
Dalam hal tersebut dokter haruslah memiliki professional integrity atau integritas profesional. Pengertian integritas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan atau kejujuran. Profesionalisme dokter ini disebutkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 2 yang berbunyi, "seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi".
Harold Frederick Shipman lahir pada 14 Januari 1946 di Nottingham. Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, ia dibesarkan dalam keluarga pemeluk agama Metodis pada kelas pekerja. Shipman sangat dekat dengan ibunya, yang meninggal karena kanker paru-paru saat ia berusia tujuh belas tahun. Kematian ibunya mirip dengan cara ia meredakan rasa sakit pasiennya di masa depan, yaitu dengan morfin. Dokter Harold Shipman dicurigai bertanggung jawab atas kematian sejumlah pasiennya. Sayangnya, tanda-tanda ketidakberesan sepanjang riwayatnya sebagai dokter rupanya gagal dicermati meski itu sudah terlihat sejak dia masih menjadi dokter muda. Ketidakberesan itu bermula saat dia masih praktek di sebuah klinik di kota kecil Todmorden, wilayah Yorkshire, Inggris. Juru rekam medis Marjorie Walker merasa curiga dengan ketidakwajaran yang ada pada catatan penggunaan obat bius dan penenang yang ada. Dia melihat bahwa dr Shipman secara rutin meresepkan pethidine, sejenis obat penghilang rasa sakit yang sifatnya mirip morfin, dalam jumlah cukup besar pada sejumlah pasien rawat inap. Kemudian dia juga terlihat meresepkan obat serupa pada sejumlah pasien rawat jalan, juga dalam jumlah di atas batas kewajaran.
Mengenai hal itu Harold dipecat dan dikirim ke sebuah klinik rehabilitasi Narkoba seraya menjalani proses penyelidikan komite etika kedokteran. Namun ketika proses penyidikan rampung dua tahun kemudian, tahun 1977, sanksi yang diterimanya ternyata relatif ringan. Dia hanya didenda ringan untuk dakwaan penyalahgunaan obat. Untuk dakwaan pemalsuan resep bahkan tak ada sanksi karena pemalsuan yang dilakukannya dianggap asal-asalan dan segera ketahuan. Namun perilaku seperti itu, manipulasi dan pemalsuan, segera menjadi kebiasaannya bertahun-tahun kemudian.
Akhirnya keburukannya kembali terungkap pada tahun 1998. Pada saat itu salah satu pasien wanita berusia 81 tahun ditemukan tewas di kamarnya, beberapa saat setelah Harold mengunjunginya. Keluarga korban pun dibuat bingung atas kematian mendadak anggota keluarganya yang pada saat itu korban nampak dengan keadaan sehat.
Di tahun 2005, aparat kemudian dihebohkan dengan laporan resmi yang menyatakan bahwa Harold telah membunuh 250 orang. Dalam laporan itu juga menjelaskan, bahwa pelaku sering menyuntikan diamorfin penghilang rasa sakit dengan dosis tinggi, dan menandatangani surat kematian dengan alasan korban mati secara alami. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya Harold, pada tahun 2000 divonis penjara seumur hidup, tanpa jaminan bebas.
Ada beberapa latar belakang mengapa Dr. Shipman melakukan malpraktik:
1. Motif Psikologis dan Kekuasaan
Shipman dianggap memiliki gangguan psikologis yang kompleks. Ia menikmati rasa kekuasaan dan kontrol atas kehidupan pasiennya, termasuk kemampuan untuk menentukan hidup atau mati. Ini menunjukkan perilaku yang terkait dengan narcissistic personality disorder atau kecenderungan psikopat.
2. Kecanduan Morfin dan Trauma Masa Lalu
Diketahui bahwa Shipman pernah mengalami kecanduan morfin, yang dapat mempengaruhi perilaku dan keputusannya. Selain itu, ibunya meninggal akibat kanker, dan Shipman menyaksikan penggunaan morfin untuk meringankan rasa sakitnya. Pengalaman ini mungkin mempengaruhi pandangannya terhadap kematian dan cara ia "mengakhiri penderitaan" pasiennya.
3. Keuntungan Finansial
Dalam beberapa kasus, Shipman memalsukan surat wasiat pasien untuk mengalihkan warisan kepada dirinya. Ini menunjukkan bahwa ia juga termotivasi oleh keuntungan finansial.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak. Pemerintah dan lembaga kesehatan perlu memperketat pengawasan terhadap praktik medis dengan memberlakukan aturan yang jelas dan sanksi yang tegas bagi pelanggar. Selain itu, institusi pendidikan kedokteran memiliki tanggung jawab besar untuk menanamkan nilai-nilai integritas dan etika kepada para calon tenaga medis. Pelatihan berkelanjutan juga diperlukan untuk mengingatkan para profesional kesehatan akan pentingnya menjaga kepercayaan pasien. Di sisi lain, masyarakat perlu lebih sadar akan hak-haknya sebagai pasien, termasuk hak atas informasi yang transparan dan pelayanan yang adil. Masyarakat diharapkan berani melaporkan tindakan-tindakan yang mencurigakan kepada otoritas yang berwenang. Dengan sinergi dari semua pihak, diharapkan tindakan manipulasi data pasien dapat diminimalisir sehingga dunia kesehatan menjadi lebih aman, transparan, dan berorientasi pada kemaslahatan semua pihak.