Lihat ke Halaman Asli

Riska Amelia Agustin

Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Jember

Pakaian Adat Gagrak Yogyakarta: Identitas Nasional dalam Tradisi dan Budaya

Diperbarui: 12 Juni 2024   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siapa yang tidak tahu dengan Yogyakarta? Kota yang penuh dengan kebudayaan dan adat istiadat yang masih terjaga hingga saat ini. Sudah banyak wisatawan baik dari luar daerah bahkan mancanegara menginjakkan kakinya di daerah istimewa ini. Tempat-tempat bersejarah menjadi destinasi wisata yang wajib dikunjungi ketika datang di Yogyakarta.

Mengenai sejarah, berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti menyatakan bahwa Negara Mataram dibagi dua yaitu setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta dan setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Setelah selesai dengan Perjanjian Pembagian Daerah tersebut, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755 yang bertepatan dengan hari Kamis Pon. Tanggal tersebut telah ditetapkan sebagai Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Penetapan tanggal lahir tersebut berdasarkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Hari Jadi DIY yang telah disetujui bersama oleh Pemda DIY dan DPRD DIY. Bagian yang menarik di sini yaitu bahwa setiap Kamis Pon semua pelajar dan Aparatur Sipil Negara (ASN) di DIY wajib mengenakan pakaian adat Gagrak Yogyakarta.

Gagrak Yogyakarta merupakan pakaian adat Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai simbol identitas dan kebanggaan budaya. Dahulu Kota Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan pada zaman Kerajaan Mataram Islam sehingga banyak meninggalkan warisan budaya. Salah satu warisan budaya tersebut yaitu adat Gagrak Ngayogyakarta yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh masyarakatnya. Pakaian adat Gagrak memiliki komponen dan filosofi yang penuh dengan makna. Pakaian yang dikenakan antara kaum pria pun juga berbeda dengan wanita.

Tradisi mengenakan Gagrak Yogyakarta pada hari tertentu berawal dari Sultan Hamengku Buwono I yang berpindah untuk menetap di Kraton pada tanggal 7 Oktober 1756 yang sebelumnya menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping karena Kraton dalam proses pembangunan. Tanggal tersebut bertepatan dengan hari Kamis Pahing dan dipilihlah sebagai hari khusus mengenakan Gagrak Yogyakarta. Proses menempati Keraton Yogyakarta sebagai pusat peradaban baru yang selanjutnya disebut sebagai Kota Yogyakarta ditetapkan sebagai HUT Kota Yogyakarta.

Namun pada bulan Januari 2024, pemerintah Yogyakarta secara resmi mengumumkan penyesuaian hari Gagrak Yogyakarta dari Kamis Pahing menjadi Kamis Pon. Perubahan hari tersebut berdasarkan uji akademis dan sejarah yang telah dilakukan dan didapatkan bukti bahwa lahirnya DIY jatuh pada tanggal 13 Maret 1755 (Kamis Pon). Keputusan ini bertujuan untuk menegakkan keakuratan sejarah dan memperkuat hubungan antara tradisi dengan asal-usulnya yang sebenarnya.

Menurut Penghageng II Tepas Purwoajilaksana Keraton Yogyakarta KRT, Purwowinoto yang memiliki nama lahir Ronni Mohamad Guritno menyatakan bahwa keberadaan hari jadi memiliki arti penting bagi masyarakat dan Pemda DIY untuk memantapkan jati diri sebagai landasan yang menjiwai gerak langkah ke masa depan. Penetapan hari jadi juga akan melengkapi identitas diri DIY. Peringatan hari lahir ini sekaligus memahami nilai-nilai Hari Jadi DIY itu sendiri yang justru merupakan kekayaan batin.

Sejak saat itu, setiap Kamis Pon, suasana pagi di Yogyakarta menjadi lebih istimewa dengan para pelajar dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengenakan Gagrak Yogyakarta. Sejak matahari terbit, jalan-jalan dan sekolah dipenuhi oleh anak-anak berseragam surjan dan kebaya, membawa suasana yang penuh dengan nuansa budaya dan sejarah. Para pelajar dan ASN yang mengenakan pakaian tradisional menuju sekolah dan tempat kerja mereka, menciptakan pemandangan yang sarat akan kebanggaan identitas daerah. Suasana ini tak hanya mencerminkan penghormatan terhadap warisan budaya, tetapi juga membangun rasa kebersamaan dan semangat gotong royong di antara warga Yogyakarta. Bagi para pelajar, ini menjadi sarana pendidikan yang efektif dalam mengenalkan dan melestarikan tradisi.

Penggunaan Gagrak Yogyakarta setiap Kamis Pon sebagai penanda Hari Jadi DIY memiliki makna yang mendalam terkait dengan identitas daerah. Gagrak Yogyakarta, yang mencakup pakaian tradisional seperti baju surjan untuk pria dan kebaya untuk wanita, serta atribut seperti blangkon dan kain batik, bukan hanya sekadar busana, tetapi juga simbol kebudayaan dan sejarah panjang Yogyakarta. Dengan memakai Gagrak ini, masyarakat Yogyakarta diajak untuk mengingat dan meresapi nilai-nilai luhur, tradisi, serta keistimewaan yang dimiliki oleh daerah mereka. Ini adalah wujud penghormatan dan rasa cinta kepada warisan budaya yang kaya, sekaligus upaya menjaga dan melestarikan keunikan identitas budaya di tengah arus modernisasi.

Selain itu, tradisi ini juga memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas di antara warga Yogyakarta. Dengan mengenakan busana yang sama setiap Kamis Pon, terdapat perasaan persatuan dan kesatuan yang lebih erat di kalangan masyarakat. Ini menciptakan suasana harmonis dengan menghargai keberagaman dalam bingkai kebudayaan yang sama. Pemakaian Gagrak Yogyakarta pada hari-hari tertentu juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, yang dapat melihat dan merasakan langsung kekayaan budaya Yogyakarta. Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai penjaga identitas daerah, tetapi juga sebagai sarana promosi budaya dan pariwisata yang berkelanjutan.

Walaupun hari pemakaian Gagrak Yogyakarta telah mengalami perubahan, makna penting dari tradisi ini tetap tidak berkurang. Tradisi ini terus berperan sebagai simbol kekayaan budaya Yogyakarta yang mendalam, sekaligus menumbuhkan rasa identitas dan kebanggaan di masyarakat. Perubahan hari pemakaian Gagrak Yogyakarta dari Kamis Pahing ke Kamis Pon mencerminkan komitmen mendalam terhadap keakuratan sejarah dan keaslian budaya, dengan tujuan esensi dan makna asli dari tradisi tersebut tetap terjaga dan dilestarikan. Langkah ini tidak hanya menunjukkan penghargaan yang mendalam terhadap warisan budaya, tetapi juga memperkuat komitmen untuk melestarikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga generasi mendatang dapat terus merasakan dan menghormati kebudayaan yang kaya ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline