Lihat ke Halaman Asli

Riska Damayanti

Pascasarjana ITS

Kisruh AMDAL Makassar New Port, Keuntungan dan Kerugian

Diperbarui: 11 April 2021   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1. Makassar New Port-Sumber: Google Earth, 30 Maret 2021

Makassar New Port (MNP) sebagai salah satu pelabuhan kelolaan dari PT. Pelindo IV merupakan salah satu Proyek Strategi Nasional yang telah mengantongi Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ditargetkan menjadi kawasan industri terintegritas pada tahun 2023 mendatang. Pembangunan proyek pelabuhan tersebut dilakukan sebagai bentuk upaya penanganan muatan yang eksistingnya pada pelabuhan Soekarno-Hatta diproyeksi tak bisa menampung lagi muatan di tahun 2019 karena hanya mampu menampung 700 TEUs. Dengan pembangunan proyek tersebut, Makassar New Port diharapkan menjadi pelabuhan terbesar di Kawasan Timur Indonesia agar semakin memperlancar arus logistik barang khususnya di Sulawesi Selatan.

Proyek pembangunan Makassar New Port yang diresmikan Jokowi pada 22 Mei 2015 sudah sampai pada tahap lanjutan yaitu 1B dan 1C yang dimulai sejak 2019 sampai dengan sekarang dengan progress hingga 18 Maret 2021 mencapai 66,77 persen dengan kegiatan yang dilakukan yaitu secant pile dan pengengecoran beton in-situ, sedangkan untuk tahap 1A sudah rampung 100 persen pada 2 November 2018. Sejak beroperasi awal November 2018, MNP telah melayani container sebanyak 267.300 TEUs di TPA seluas 16 hektare yang sebagiannya hasil reklamasi. Namun, proses pembangunan proyek MNP diduga merusak ekosistem pesisir akibat adanya kegiatan penambangan pasir laut untuk dilakukan reklamasi.

Proyek penambangan pasir dan reklamasi yang dilakukan secara besar-besaran dalam proses pembangunan MNP tersebut memicu kontroversi terhadap masyarakat sekitar khususnya di perairan Spermonde meliputi perairan Galesong Raya dan Pulau Kodingareng yang dimana masyarakat nelayan sangat merasakan dampaknya. Pada situs berita lingkungan mongabay.co.id dalam ekspose hasil riset via daring "sejak Agustus hingga Desember 2020, kami melakukan riset di Pulau Kodingareng, dimana hasilnya menunjukkan bahwa kegiatan penambangan pasir laut telah merusak ekosistem laut yang berakibat pada menurunnya hasil tangkap nelayan. 

Bahkan hingga saat ini nelayan dan keluarganya mengalami krisis keuangan tidak mampu membeli kebutuhan pokok," ungkap Muhammad Al Amin, Direktur WALHI Sulawesi Selatan. Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh kapal PT. Royal Boskalis yakni Queen of the Netherlands mengakibatkan keruhnya air laut akibat pengerukan sedimen pasir yang merusak terumbu karang yang akhirnya dapat mengganggu ekosistem laut dan pesisir lainnya. 

Tujuan utama dari pembangunan MNP tersebut yaitu memperlancar arus logistik barang sehingga pertumbuhan ekonomi khususnya kota Makassar juga meningkat. Namun yang menjadi perhatian khusus adalah proses dalam pelaksanaan proyek tersebut agar tidak menjadi bencana bagi masyarakat banyak. Seperti yang dikutip dari BETAHITA.ID dituturkan oleh Al Amin "segala dampak tersebut membuat masyarakat pesisir Sulsel nekat menghadang dan menghentikan aktivitas penambangan pasir laut oleh Boskalis selaku kontraktor rekan Pelindo IV". Kemarahan nelayan itu berlanjut dengan gelaran protes fisik dengan mendatangi lokasi MNP lantaran mereka menilai permintaan agar Pelindo IV memperhatikan dampak proyek diabaikan.

Gambar 2. Bentuk protes masyarakat terdampak proyek pembangunan MNP- (Sumber: klikhijau.com)

Hal diatas menarik untuk dibahas pasalnya proyek MNP yang telah mengantongi Analisa Mengenai Dampak Ligkungan (AMDAL) menjadi dasar untuk melakukan penerapan tentang kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pengembangan Pelabuhan Makassar. "kami juga telah memasang silt curtain demi meminimalkan pencemaran, kekeruhan air laut saat konstruksi, jelas Arwin" dalam berita antaranews.com. Terkait pemakaian material pasir laut, kegiatan itu juga dilakukan sesuai prosedur, mulai dari kelayakan lingkungan, perizinan, CSR, hingga pengawasan, lanjut Arwin. Menurut Direktur Eksekutif WALHI SulSel, pemerintah hingga perusahaan diduga melanggar PP Nomor 27 Tahun 2012 pasalnya selama ini masyarakat hanya mengetahui aktivitas penambangan pasir laut oleh perusahaan asal Belanda tersebut. 

Padahal, perusahaan itu bertindak sebagai kontraktor penyedia jasa penambangan pasir. Konsesi penambangan, kata Amin, dipegang dua perusahaan yang dimiliki oleh orang dekat pejabat di lingkup Pemprov Sulsel. Amin menyayangkan, sebab Amdal seharusnya disosialisasikan lebih dulu dengan melibatkan banyak pihak. Termasuk nelayan terdekat yang ruang lingkupnya masuk dalam area penambangan pasir. Hal tersebut menjadikan masyarakat nelayan Kodingareng menolak aktivitas penambangan di wilayah mereka.

Penurunan pendapatan sangat dirasakan masyarakat nelayan akibat air keruh, morfologi bawah laut berubah yang mengakibatkan hasil tangkap ikan menurun. Banyak nelayan yang kemudian memilih untuk meninggalkan pulau untuk mencari pekerjaan lain terutama pada masa pandemi COVID-19 ini akibat mata pencaharian utama mereka terganggu. 

Selain berdampak pada perekonomian masyarakat, penambangan pasir laut untuk proyek MNP mengubah pola arus dan gelombang. Perubahan tersebut dapat mendorong terjadinya abrasi yang menimbulkan ketakutan masyarakat di daerah terdampak. "kalau kita lihat dalam perjalanannya selama setahun terakhir, kita lihat bagaimana warga nelayan benar-benar memperjuangkan ruang hidupnya, yang berusaha diambil alih oleh kekuatan korporasi yang didukung oleh aparat pemerintah dan juga Negara yang benar-benar dalam perlakuannya tidak mencerminkan keberphakan kepada masarakat. Tutr Nur Hidayanti, Direktur Eksekutif WALHI".

Sangat disayangkan, di satu sisi pemerintah selalu menyampaikan kepada masyarakat untuk menjaga terumbu karang dan melakukan transplantasi namun di sisi lain justru memberi izin kepada penambangan tersebut yang berpotensi merusak terumbu karang dalam skala besar. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, menjelaskan "bahwa laut adalah kawasan di mana banyak kepentingan di dalamnya, bukan hanya untuk nelayan. Ada perhubungan, pertambangan, parawisata, pertahanan, sehingga sejak adanya UU pesisir segala kepentingan dilaut itu harus diatur. 

Terkait penambangan pasir yang dilakukan Boskalis, Sulkaf menilai tersebut adalah legal selama dilakukan di dalam kawasan zona tambang yang diprasyaratkan oleh perda RZWP3K. dari sekian alokasi tambang yang diajukan Dinas ESDM, khusus di blok Spermonde terdapat kawasan tambang pasir seluas 9000 hektar".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline