Ada seorang teman bercerita kepada saya. Anaknya yang menginjak Sekolah Menengah Atas(SMA) bercerita padanya bahwa mereka yang mulai masuk ke kelas X (1 SMA) akan belajar dengan system baru yaitu kurikulum merdeka untuk menggantikan kurikulum 2013.
Ayahnya yang menginjak paruh baya, mendengar cerita itu dengan sedikit enggan, karena memang berulang kali Kementrian Pendidikan (dulu Namanya Dept P dan K ) melakukan pergantian kurikulum seiring bergantinya Menteri atau kabinet.
Namun jika kita cermati, kurikulum merdeka belajar memang agak (atau bahkan sangat) berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini bertujuan untuk mengasah minat dan bakat anak sejak dini dengan berfokus pada materi esensial, pengembangan karakter dan kompetensi anak didik.
Kurikulum merdeka yang saat uji coba dinamakan kurikulum Prototipe untuk sekolah penggerak ini menurut Kementrian Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek sudah diuji coba di 2.500 sekolah, dam saat ini sudah ada 143.265 sekolah yang sudah menggunakan kurikulum merdeka dan akan terus meningkat untuk diterapkan di seluruh TK,SD, SMP dan SMA.
Inti kurikulum merdeka selain menekankan pengembangan karakter, siswa dibebaskan untuk belajar apa yang menjadi minat dan bakatnya.
Jika punya bakat seni maka sekolah akan memfasilitasi anak untuk belajar seni, enah itu seni tari, seni suara, ketrampilan kriya dll. Kurikulum ini menekankan strategi berlajar berbasis proyek yang dinamakan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan bersifat lintas mapel. Penjurusan yang sebelumnya ada di SMA tidak ada lagi.
Tentu saja hal ini layak kita apresiasi karena lebih mengedepankan apa yang bisa dilakukan anak sesuai dengan minat dan bakatnya. Anak tak lagi banyak belajar hal yang tidak disukainya.
Hal yang layak diwaspadai adalah kemungkinan faham selain Pancasila yang masuk ke sekolah atau siswa dengan dalih kemerdekaan belajar.
Alih-alih sekelompok anak berminat mendalami agama sebagai salah satu hal positif untuk membangun karakter sesuai dengan kurikulum merdeka, namun yang terjadi mungkin adalah pengembangan faham transnasional.
Hal ini sering terjadi di sekolah menengah pertama dimana siswa dan siswi masih dalam masa labil dan belum bisa mengindentifikasi keinginan atau dirinya sendiri.