Lihat ke Halaman Asli

riska nuraini

suka menolong orang

Keragaman adalah Roh Kita

Diperbarui: 11 Juli 2020   09:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

wartakota.co

Perkembangan teknologi informasi berkembang pesat selama tiga dekade ini. Meski internet sudah ditemukan sekitar tahun 1980an, tetapi baru berkemban dengan baik di Indonesia pada era 1990-an. Sepuluh tahun kemudian ketika Indonesia sudah mengalami masa reformasi, media sosial ditemukan dan kemudian berkembang dengan baik selama sepuluh tahun ini.

Pada tahun 2009, setelah lima tahun Facebook ditemukan dan kemudian berkembang pesat termasuk di negara kita, saat itu ada sekitar 69 juta akun Facebook milik orang Indonesia. Pada tahun 2016 ada sekitar 90 juta akun. Peningkatan jumlah pengguna FB itu diikuti dengan penggunaan platform lainnya seperti twitter dan indtagram, path dan sebagainya, termasuk whattsapp.

Saat ini nyaris semua masalah di dunia ini masuk ke ranah dunia virtual. Bahkan presiden Amerika Serikat saat ini yaitu Donald Trump memakai platform twitter untuk menyuarakan pendapatnya. Sikapnya kepada WHO dan China soal Covid-19 dia suarakan melalui twitter. Ini sering memantik konflik dirinya dengan banyak pihak di seluruh dunia. Begitu juga banyak artis dan masyarakat dunia lebih sering mengeluarkan pendapat dan sikapnya melalui media sosial.

Di Indonesia sendiri, nyaris semua isu baik kehidupan sosial, politik, ekonomi dan agama ditumpahkan di dunia maya. Anomitas (orang tanpa identitas yang nyata) dengan mudah menumpahkannya melalui media sosial. Tumpahan narasi ini sering bersifat provokatif dengan berbagai motivasi.

Hal ini mencapai puncaknya saat Pemilihan Presiden pada tahun 2014  pemilihan gubernur DKI tahun 2015-2016. Masyarakat dunia maya terbelah antara calon A dan calon B saat itu. Masyarakt juga tanpa etika menggunakan media sosial untuk melontarkan kebencian yang ditiupkan beberapa pihak dengan kedok agama.Sangat riuh dan sempat merusak kehidupan sosial sebagian masyarakat kita sampai menggunakan falsafah negara sebagai alat pembelah masyarakat.

Kita mungkin tahu sekarang ada fenomena baru yaitu Pancasila dipakai sebagai alat propaganda dalam arti negative. Pancasila yang sebenarnya  berisi akar dari nilai-nikai keyakinan dan budaya bangsa Indonesia yang beragam ini dibelokkan untuk kepentingan dan keyakinan tertentu. Sederhananya, Pancasila dijadikan kambing hitam oleh beberapa pihak yang menafsirkan falsafah negara ini dengan berbeda.

Perbedaan cara pandang dan penafsiran publik dalam memaknai dan memahami Pancasila telah menimbulkan sikap pro-kontra di tengah publik. Kondisi ini tampaknya dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memecah belah masyarakat, termasuk melalui media sosial. Perang narasi berlangsung sedemikian riuh sehingga sering terasa mengganggu kehidupan masyarakat.

Karena itu mungkin kita harus sadar bagaimana proses Pancasila menjadi dasar dan falsafah negara kita dan bagaimana pihak-pihak tertentu membelokkannya sehinga seakan Pancasila tak cocok dengan kita. Keragaman justru menjadi roh dan kekuatan dari bangsa kita bukan pemecah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline