Hingar bingar pilkada sudah mulai terasa. Partai politik sudah menyiapkan para pasangan calon yang didukungnya. Tim sukses pun juga sudah mulai menyiapkan berbagai strategi, agar pasangan calon yang diusung bisa memenangkan kontestasi pilkada. Ada yang sudah mencoba meraih simpati publik dengan pencitraan, namun ada juga yang mulai sibuk mencari kejelekan, hingga saling membuka aib satu dengan yang lain karena tidak sepakat dengan perjanjian yang diminta. Dan masyarakat, diharapkan lebih jeli dan tidak mudah terpengaruh dengan informasi yang mulai panas ini.
Jelang pendaftaran pasangan calon, salah satu paslon asal Jawa Timur dihantam dengan foto yang mengejutkan. Dampak dari foto tersebut, paslon itu memutuskan mundur dari bursa paslon gubernur dan wakil gubernur jawa timur. Beberapa terakhir, La Nyala salah satu calon yang diusung partai gerindra, menyatakan pernah diminta uang sebesar puluhan miliar sebagai mahar politik jelang pilkada. Pernyataan ini tentu mengejutkan semua pihak. Di depan masyarakat para elit politik berkata jujur, transparansi dan janji manis lain. Namun dibelakang layar, para elit yang lain berkoar-koar keburukan elit yang lain demi kursi kekuasaan.
Disisi lain, ada pihak lain yang berusaha mengulang hingar bingar pilkada di DKI Jakarta terjadi di pilkada serentak tahun ini. Hingar bingar yang dimaksud disini adalah, mewujudkan kegaduhan di tengah masyarakat agar paslon yang diusung bisa berkuasa. Pilkada DKI adalah contoh yang paling nyata, dimana ujaran kebencian begitu massif untuk saling menjatuhkan pasangan calon.
Perdebatan mengenai program sangat minim terjadi. Masyarakat terus dihadirkan kejelekan, kejelekan dan kejelekan. Padahal, dalam masa kampanye seharusnya masyarakat dihadirkan perdebatan yang membangun dan mencerdaskan, agar masyarakat bias mengerti seberapa pantas paslon tersebut jika terpilih duduk di kursi kekuasaan.
Perdebatan yang mencerdaskan inilah yang harus dibangun mulai saat ini. Perdebatan yang menyejukkan dilevel masyarakat bawah, juga harus dipupuk, agar tidak ada perdebatan yang dilandasi kebencian. Jika berkaca pada pilkada sebelumnya, aksi persekusi di masyarakat seringkali terjadi, hanya karena pimpinnnya mendapatkan respon negative dari masyarakat.
Menebarkan pesan-pesan yang sehat, yang tidak provokatif, dan tidak menyudutkan harus menjadi komitmen bersama di tahun politik ini. Setiap ucapan dan perilaku yang dimunculkan para elit politik, juga harus menyejukkan para pendukungnya. Begitu juga paslon yang maju dalam pilkada tahun ini, juga harus memberikan pendidikan politik yang baik bagi semua pihak.
Mari kita menebar kedamaian, dalam pesta demokrasi lima tahunan ini. Jangan rusak pesta demokrasi ini, hanya karena kepentingan kekuasaan. Boleh kita berbeda pendapat dan pilihan dalam pilkada, namun kita tidak boleh tercerai berai hanya karena kepentingan politik. Persatuan dan kesatuan haruslah tetap yang utama. Dan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan, maka pilkada damai harus menjadi komitmen bersama. Tidak boleh pilkada dijadikan momentum untuk saling menjatuhkan.
Jadikan pilkada untuk mendewasakan kita dalam berdemokrasi dan berbangsa. Pilkada harus mampu merangkul semua kepentingan, bukan untuk saling memukul pihak yang berbeda paham. Hidup damai harus terus diwujudkan di negeri ini. Karena Indonesia adalah negara damai, bukan negara konflik. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H