Penyesalan selalut datang setelah semuanya terjadi. Meski demikian, kita terkadang menjadikan penyesalan itu sebagai bahan pertimbangan. Ketika sudah kejadian, baru merasa bersalah. Penyesalan biasanya terjadi setelah kita sadar telah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Seperti yang dirasakan oleh Makmur Husagian, orang tua IAH, pelaku percobaan bom bunuh diri di gereja Santo Yoseph Medan, Sumatera Utara, akhir pekan lalu.
Seperti kita tahu, akibat terpengaruh indoktrinasi kelompok radikal di dunia maya, IAH berubah menjadi pribadi yang radikal. Setelah mempelajari cara perakitan bom di internet, remaja 17 tahun ini, nekat akan meledakkan bom yang ditaruh di dalam ranselnya. Ironisnya, bom tersebut rencananya akan diledakkan di dalam gereja. Beruntung ransel berisi bom tersebut memunculkan percikan apai, ketika IAH berlari mendekati sang pastor. Para jemaat pun akhirnya berhasil menangkap IAH dan diamankan petugas. Jemaat dan pastor selamat dari percobaan bom bunuh diri.
Makmur Husagian sama sekali tidak menyangka, anaknya bisa berani melakukan tindakan nekad. Padahal selama ini mereka hidup rukun, meski ada perbedaan agama. Menurut Makmur, IAH merupakan satu-satunya yang memilih menjadi muslim. Pihak keluarga tidak pernah mempermasalahkan keputusan IAH. Karena sang anak melakukan tindakan tidak terpuji, Makmur pun kemudia meminta maaf kepada masyarakat, atas perilaku anaknya tersebut.
Remaja yang terpengaruh indoktrinasi kelompok radikal di dunia maya, tidak pertama kali ini terjadi. Seringkali para pelaku bom di Indonesia, terpengauh ajaran radikal melalui internet. Leopard Wisnu Kumala, remaja ini berani meletakkan bom di mall Alam Sutera, juga terpengaruh propaganda kelompok radikal di internet. Meski dia bukan merupakan kelompok radikal, cara-cara kelompok radikal ini menginspirasinya untuk melakukan peledakan. Tidak hanya itu, Azhar Basyir, salah satu tersangka terorisme dari Solo, mengaku cara membuat detonator dari sosial media. Bahrunnaim, remaja yang diduga berada dibalik bom Thamrin, juga sering mengunggah cara-cara pembuatan bom, melalui blognya.
Tidak hanya di Indonesia, kecenderungan remaja yang terpengaruh radikalisme dunia maya jga marak terjadi. Aqa Mahmood, seorang remaja muslim asal Skotlandia, memutuskan bergabung dengan ISIS ke Suriah setelah membaca artikel di online. Begitu juga dengan yang dilakukan oleh Kim, remaja 18 tahun asal Korea Selatan,memutuskan bergabung dengan ISIS setelah terpengaruh radikalisasi dunia maya.
Berbagai contoh diatas membuktikan, begitu kuatnya pengaruh ajaran radikal dunia maya. Perang melawan terorisme di dunia maya, harus terus dilakukan oleh semua orang. Bagi para orang tua, jangan biarkan anak-anak Anda terpengaruh ajaran kekerasan. Boleh mengakses internet, karena internet juga memberikan informasi yang positif.
Yang perlu dilakukan adalah, tanamkan agar menjadi pribadi yang cerdas ketika berselancar di dunia maya. Tanamkan sifat kritis kepada anak-anak, agar tidak mudah tergoda dengan bujuk rayu yang mengatasnamakan agama tertentu. Seringkali kelompok radikal membawa agama tertentu, untuk menarik simpati publik. Sudah cukup generasi muda kita meninggal karena bom bunuh diri. Ayo kita ciptakan generasi muda yang toleran, yang mampu menyebarkan pesan damai, bukan kebencian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H