Lihat ke Halaman Asli

riska nuraini

suka menolong orang

Kejar Setoran Ala Tim Transisi

Diperbarui: 3 Juli 2015   16:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak PSSI dibekukan oleh Menpora Imam Nahrawi, 17 April 2015 lalu, sepertinya tim bentukan lembaga negara yang bernama Tim Transisi, sepertinya terburu-buru untuk segera tampil.

Tim Transisi hanya ingin dilihat masyarakat bahwa mereka sudah berbuat sesuatu. Mereka hanya ingin agar masyarakat dan komunitas bola merasa terpenuhi kebutuhannya, semisal terhibur, dan para pemain dan ofisialnya berbunga-bunga. Nyatanya, proposal yang disodorkan oleh Tim Transisi, sejatinya hanya sebatas angan-angan dan diluar ekspektasi para anggota PSSI yang berkompetisi di Indonesia Super League dan Divisi Utama. Tim Transisi, sepertinya buta tentang filosofi sepak bola.

Bahkan TimTransisi tak pernah mengetahui apa dan bagaimana menggelar sebuah turnamen atau pun kompetisi secara nasional. Ada yang tak pernah dipahami oleh Tim Transisi ketika terdesak menciptakan turnamen -apapun namanya- yang menurut beberapa sumber akan digelar awal Agustus atau akhir Juli nanti. Pemerintah dalam hal ini BOPI dan tim transisi sebenarnya menghancurkan suasana dan insan sepakbola itu sendiri.

Ketika ISL digelar awal April 2015 lalu semua peserta sudah resah karena lambat mendapat rekomendasi BOPI untuk menggelar kompetisi. Ketika, semua anggota ISL hanya bisa menjalani dua pertandingan awal, akhirnya kompetisi dihentikan sendiri oleh induknya, PSSI. PSSI tidak sepaham dengan keinginan BOPI soal Persebaya Surabaya dan Arema Cronus ikut serta karena terjadi dualisme kepemilikan.

Dari sinilah, kondisi teknis dan non-teknis setiap tim hancur berantakan. Para pemain jatuh mentalnya, serta para manejemen klub runtuh harapannya untuk mengais keuntungan secara finansial. Secara kasat mata, sangat sulit bagi mental pemain dan ofisial klub untuk cepat bangkit.

Jika Kemenpora ngotot menggelar turnamen, seharusnya dimulai September dan bukan Juli atau Agustus. Mengapa September?

Tim Transisi dan BOPI harusnya paham bahwa jika ingin menggelar turnamen sepakbola, maka obyeknya adalah para pemain dan ofisial. Jika turnamen diadakan Juli atau Agustus, kondisi mental dan finansial klub tak memadai. Insan sepakbola Indonesia saat ini dalam kondisi frustasi. Sejak Januari sampai April, setiap pemain benar-benar siap mental bertandingnya. Namun, sejak April ke Mei kondisi pemain dan klub justru sedang diujung jurang.

Sejak Mei ke Juni, nyaris semua pemain dan ofisial sangat frustasi yang tidak tertolong. Beruntung, dari Juni ke Juli ada puasa selama sebulan.

Maka, jangan dipaksakan untuk menggelar turnamen yang sifatnya nasional dalam waktu dekat ini. Memulihkan kondisi fisik dan mental pemain tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selayaknya Tim Transisi memahaminya dan tidak sekadar hanya ingin mengejar setoran saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline