Mayasiswa kita sedang menuliskan dongengnya untuk kita semua:
------
A.Yang (Sok) Kritis dan Yang (Sok) Kritis Agamawi
Di sana ada ban dibakar. Ada foto-foto tokoh yang juga dibakar. Lalu ada sejumput kecil orang-orang yang dibakar matahari, bahkan pernah dibakar oleh dirinya sendiri. Entah hati mereka terbakar atau tidak, entah hati orang yang melihatnya terbakar atau tidak, yang jelas suara-suara parau dan kumpulan-kumpulan kecil itu sudah sangat sering terlihat. Semuanya jadi terlalu biasa, sering pula terlalu mudah ditebak.
“SBY-Boediono harus turun!”
“Turunkan harga BBM!”
“Tegakkan Syariat!”
“Gantikan Kapitalisme dengan Ekonomi Kerakyatan!”
“Tolak Penerapan BHPT!”
…
Seliweran teriakan-teriakan itu akan selalu melintas di langit kitaran kampus. Entah mereka yang meneriakkan tahu atau tidak, konsekuensi atau bahkan jalan menuju apa yang mereka teriakkan. Entah mereka meneriakkan suaranya atau si aktor balik layar sedang meminjam suara sekaligus kebodohan mereka.
[caption id="" align="aligncenter" width="362" caption="sumber:antarafoto.com"][/caption]
Harus diakui sebagian kecil mereka memang masih kreatif. Ada aksi teatrikal yang tak perlu dibayar untuk ditonton dan bisa dijadikan obyek fotografi, ada pula secuil teknik retorika yang mumpuni (meski kalau jeli, kita bisa menunjukkan darimana kutipan itu diambil). Harus diakui pula sebagian mereka masih serius. Ada kajian semalam-malaman sebelum membahas aksi, ada pula pencarian momen tepat untuk menyuarakan aspirasi.
Tapi itu kan sering hanya salutan kesan. Mereka selalu diasumsikan berjuang demi rakyat saat berdemo. Menjalankan peran sebagai suara kebenaran saat berunjuk rasa. Menunjukkan kegarangan intelektual saat berbaris dengan spanduk di luar gedung kuliah. Padahal mereka seringnya bukan menyuarakan pemikirannya sendiri, konon lagi menjadi penerjemah bahasa kalbu rakyat. Mereka justru tak pernah berpikir lagi atas apa yang tengah dikerjakannya.
Memangnya apa artinya kalau SBY-Boediono turun bersamaan? Bagi yang membaca UUD 1945 hasil amandemen terakhir tentu tahu celah besar dalam rancang bangun pemerintahan kita ini. MPR tak lagi memilih presiden, menteri bubar, hanya Kapolri dan Panglima TNI yang tak langsung berhenti. Itu artinya kita mungkin saja tak bisa lagi berteriak apa-apa.
Bisakah harga BBM turun? Tentu saja bisa. Berikan saja ide untuk pemenuhan belanja negara ini dengan cara yang tidak mencekik rakyat bersamaan dengan konsep dasar kedaulatan energi. Kaji dan ajukan dengan berani. Bangsa ini tidak butuh teriakan jargon Bung. Apalagi jargon yang diteriak-hampakan oleh orang yang bahkan tak bisa membedakan antara kapitalisme dengan pandangan ekonomi liberal-klasik.
Jangan pula bermain argumen tak terbantahkan dengan bertameng dalil-dalil agama. Apakah karena menggunakan istilah keagamaan itu lantas berarti hal-hal ruhaniah yang kekal? Hah, mudah saja untuk memakai doktrin Stalinisme lalu menggantinya dengan Bahasa Arab sembari mencomot ayat-ayat Suci demi pembenaran. Kenapa sewot kalau dibilang sebagian halaqah itu justru tiruan dari kajian diskursus sosialisme dan sebagian lagi adalah cuci otak? Kembali ke zaman Turki Ottoman yang Agung itu? Oh… yang pernah mengharamkan mesin cetak karena dibawa orang Yahudi dan yang membunuh jutaan umat Armenia itu ya? (Alamat saya pasti dihujat karena menulis begini).
Ah, mereka tak sepenuhnya salah, hanya saja nanggung dalam kekritisannya. Mereka berteriak-teriak dalam kebebebasan berbicara sampai lupa kebebasan sejati manusia normal: kebebasan berpikir.
===
B.Yang Rohani Minoritas
Di tempat lain ada sekumpulan anak baik-baik menyanyi-nyanyi lagu-lagu rohani untuk Tuhan. Membahas kitab suci. Menganggap diri adalah pemimpin yang bisa mengubah bangsa ini. Dengan apa? Tak tahulah, yang jelas mereka semangat sekali untuk kegiatan-kegiatan keagamaan. Merasa diri menang karena tidak sehebat orang lain.
[caption id="" align="aligncenter" width="314" caption="sumber: mdp.ac.id"][/caption]
Jangan berkonfrontasi atau berdebat dengan mereka ini. Mereka nantinya pasti akan menarik diri atau malah berdebat dengan sudut pandang konyol dan membosankan. Kumpulan ini hanya akan terdiri dari dua tipe: pengikut polos yang membebek dan pemimpin berkharisma yang berkicau.
Mereka juga tak sepenuhnya salah, hanya saja nanggung dalam keimanannya yang sejuk. Mereka punya dunia impian yang dibangun oleh idealisme dan kedekatan karena mereka minoritas. Mereka menyukai hal yang ‘baik-baik’, jadi sering tak berani melihat kenyataan yang pahit.
===
C.Pemburu Huruf Mutu
Di ruang sana ada mahasiswa-mahasiswa cupu yang orientasinya hanya huruf mutu. Mereka berkutat dengan keilmuannya saja, seolah seluruh dunia hanya akan berarti kalau ada ilmu itu. Bagi mereka semua kegiatan lain di luar acara keilmuan adalah bentuk kurang kerjaan.
Merekapun tak sepenuhnya salah. Hanya saja nanggung dalam menghayati apa artinya belajar itu.
===
D.Kutu Loncat Pemikiran
Di pojokan nalar ada orang-orang yang getol membaca apa saja. Kagum dengan apa saja. Menelan atau mengkritisi apa saja hal-hal yang mereka jumpai. Mereka suka melawan arus, meski seringkali cuma karena terseret arus balik (tentu mereka tak sadar akannya). Mereka bisa masuk ke salah satu dari tiga kelompok yang disebut di atas, bahkan menclak-menclok berpindah-pindah atau malah mengikuti ketiganya dengan semakin lama semakin tertatih.
Jangan tanya pendapat pada orang-orang ini, karena ia ingin selalu mengiyakan atau selalu menidakkan pendapatmu. Ia juga tak salah sepenuhnya, sebab ia belajar multi-disipliner dan multi-dimensi hanya saja seenak udelnya.
===
E.Pragmatis-Hedonis
Semua kelompok tadi kini semakin terseret ke kelompok baru. Bersamaan dengan semakin giatnya situs jejaring sosial, bersamaan dengan semakin mudahnya segala sesuatu.
Kelompok ini menganggap dirinya beradab. Mereka punya kancah sosialitanya sendiri. Mereka tak mau menjadi ekstrim di salah satu kubu, namun mereka mencari ekstrim-ekstrimnya unik demi penampilan yang nyentrik yang katanya adalah ciri khas. Mereka membahas apa saja dan menilai apa saja berdasarkan kesesuaiannya dengan kancah sosialita itu. Mereka tak punya ideologi sebab ideologi mereka adalah ideologi jejaring. Mereka merasa mempengaruhi orang banyak dalam jejaring padahal merekalah yang sesunggunya sedang terpengaruh jaringan.
[caption id="" align="aligncenter" width="341" caption="sumber:siregarbrother.blogspot.com"]
[/caption]
Mereka juga tak salah sepenuhnya sebab mereka menyukai keunikan, lewat merekalah kita bisa belajar satu frasa yang dulu terdengar mustahil: “sangat bervariasi namun sangat monoton”.
---
Nah itu semua hanya terjadi di dunia mayasiswa Indonesia lho, bukan di dunia mahasiswanya. Mayasiswa? Ya itu siswa yang cuma maya. Jadi ya hanya maya, semaya omongan dan kegiatan mereka.
Kalau mahasiswa Indonesia tidak begitu. Mereka mendalam dan berorientasi jangka panjang dalam kekritisannya. Mereka lebih memilih mencerdaskan masyarakat lewat diskusi hadap masalah (meminjam konsep Freire) di kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat. Yang religius itu mengejawantahkan keyakinannya yang luhur demi kemaslahatan semua umat. Yang minoritas dengan cakap menunjukkan eksistensi kontribusinya sembari bisa menjembatani keminoritasannya sehingga tidak disalahpahami malah dihargai yang mayoritas. Diskusi mereka berani menyentuh hal-hal sensistif yang jadi sumber masalah, namun dengan kepala dingin dan penuh kesantunan.
Mereka menulis dengan analisis yang tajam dan indah. Mereka tidak canggung berfilsafat, bangga dengan budayanya karena memahami dengan baik sejarahnya. Orang-orang ini berhasil membuat manunggal rasionalitas Barat, kebajikan Timur serta keimanan pada wahyu ilahi dalam dirinya sebagai insan Indonesia yang utuh. Kaderisasi yang dilakukan adalah pembelajaran yang berani dikritisi, dialog dan bukan monolog apalagi epilog. Para mahasiswa kita…. eh kok sepertinya saya semakin menjadi maya dalam menulis ya? Ah…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H