Ditulis oleh : Rischa Mukaromah Kurnia Dewi. Mahasiswa FEB Magister Manajemen Universitas Sebelas Maret Surakarta
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) tengah menjadi sorotan bagi masyarakat Indonesia. Ini karena beberapa BUMN yang menggarap proyek tersebut kondisi keuangannya tengah mengalami krisis yang disebabkan pandemic Covid 19 . Mega proyek tersebut terancam mangkrak karena biaya pengerjaanya membengkak menjadi 8 miliar dollar AS atau setara Rp 114,24 triliun.
Padahal sebelumnya, PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) melakukan estimasi biaya pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung adalah sebesar 6,07 miliar dollar AS. Dengan demikian, setelah perkiraan pembengkakan anggaran mencapai 8 miliar dollar AS, artinya terdapat kenaikan sekitar 1,9 miliar dollar AS atau setara Rp 27,09 triliun.
Polemik terjadi karena pada awalnya pemerintah menggembar-gemborkan bahwa proyek KCJB ini akan didanai lewat business to business. Kini, APBN akan dikucurkan untuk mendanai proyek ambisius ini.
Selain pendanaan lewat APBN, kritik lainnya yakni terkait jarak Jakarta-Bandung yang relatif dekat, hanya sekitar 150 kilometer, sehingga dinilai proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung harus berkompetitif terhadap moda alternatif lain dan berpotensi terancam sepi penumpang. Selain bersaing dengan KA Argo Parahyangan dan perusahaan travel juga bersaing dengan tren masyarakat pengguna kendaraan pribadi yang dimanjakan dengan Tol Cipularang.
Akan tetapi banyaknya proyek mangkrak pada tahun 2021 ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain juga mengalami dilema yang sama dan tidak ada satupun yang memilih untuk memangkrakan proyek, hal ini terjadi karena adanya dampak pandemic covid 19. KJCB dinilai bisa menyelesaikan kontruksinya dikarenakan sudah mencapai 80% dari target akhir dan direncanakan dapat beroperasi pada tahun 2022, kereta cepat ini nantinya akan menjadi alternatif kepadatan rute di jalan tol, proyek kereta cepat juga secara tidak langsung menangkap kebutuhan masyarakat di berpuluh-puluh tahun yang akan datang.
Memang, rute Jakarta- Bandung dapat dilalui jalan tol dan kereta api. Namun, pertumbuhan penumpang setiap tahunnya dapat menjadi solusi dari kehadiran KJCB.
Manajemen proyek tentu berguna untuk mengontrol rencana awal proyek dengan realisasinya yang terjadi di lapangan. Sayangnya tidak semua project manager dapat memanajemen proyek secara tepat untuk mengurangi peluang cost overrun seperti dalam proyek KCJB.
Hal ini bisa semakin di perburuk dengan kemungkinan adanya system monitoring tradisional yang masih banyak dilakukan di lapangan, padahal system ini tidak efektif untuk mencegah cost overrun karena tidak dapat diukur secara real time. Real time penting untuk kita dapat merespon, melihat dan mengatur setiap progress dan kefektifan suatu proyek agar berjalan sesuai dengan tujuannya.
Dalam pembangunan suatu proyek konstruksi, seperti halnya proyek KCJB. Diperlukan pengendalian dan pengawasan biaya untuk proyek tersebut, karena pengendalian biaya proyek merupakan hal penting dalam proses pengelolaan biaya proyek. Dalam kegiatan suatu proyek pasti terdapat masalah seperti penggunaan material yang boros, tenaga kerja yang kurang terampil dam waktu penyelesaian proyek yang tidak tepat sehingga menyebabkan pemborosan biaya yang tidak sesuai dengan perencanaan.
Dalam Manajemen Konstruksi (MRK) terdapat suatu disiplin ilmu teknik sipil yang digunakan untuk mengefisiensikan biaya, ilmu tersebut dikenal dengan nama Rekayasa Nilai (Value Engineering).