Sering kita temui anak-anak enggan masuk sekolah dengan berbagai alasan. Alasan fisik, sakit perut, mual, muntah, pusing atau alasan lainnya. Kejadian ini pun sering kali berulang dan orang tua bingung cara menyikapi kebiasaan anak mogok sekolah.
Mogok sekolah atau school refusal bukan merupakan suatu gangguan perkembangan, namun salah satu tanda ada permasalahan dari aspek emosi anak. School refusal dapat merupakan kondisi dimana anak-anak menolak pergi ke sekolah. Anak-anak yang menolak sekolah biasanya menghabiskan waktunya di rumah.
Ada beberapa tanda anak mulai menunjukkan school refusal, antara lain menangis, tantrum, menyendiri di dalam ruangan, sulit bangun dari kasur, mengantuk, menunjukkan rasa cemas yang tinggi, dan berbagai keluhan fisik (nyeri, sakit perut) yang cenderung berkurang saat orang tua mengizinkan anak tetap di rumah.
Beberapa faktor resiko yang dapat memicu school refusal antara lain, transisi sekolah, adanya ruangan yang berbeda, bullying, cemas menghadapi ujian (lisan, tertulis), kehilangan/kematian orang terdekat/pengasuh, transisi keluarga, konflik keluarga, pengalaman traumatis. Kearney (2018) membagi menjadi 4 penyebab munculnya school refusal :
1. Avoidance of negative affect
Menghindari perasaan negative, seperti adanya perasaan cemas, takut, sedih. Contohnya siswa pondok yang memilih kabur karena ia merasa takut, merasa tidak mampu memenuhi tuntutan/target dari sekolah.
2. Avoidance of social evaluation
Menghindari lingkungan sosialnya atau menghindari adanya evaluasi/penilaian dari lingkungan. Contohnya anak yang mengalami perundungan selama di sekolah.
3. Seeking attention
Menerima perhatian atau simpati dari orang tua atau dewasa lainnya. Seperti tantrum di pagi hari, kesulitan untuk berpisah dengan orang tua/significant person. Contohnya anak yang merasa takut berpisah dan tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya.
4. Pursuit of tangible reward