Mungkin saking semangatnya, ada petugas yang menyampaikan hasil pengukuran apa adanya. "Nah, anak Ibu ini stunting." Faktanya memang z score di bawah - 2 SD (= anak mengalami stunting).
Komunikasi yang dilakukan objektif tapi sama sekali tidak empatik. Temuan disampaikan, tanpa mengindahkan perasaan.
Secara programatik, mengidentifikasi anak stunting memang penting. Tapi mengomunikasikan hasil pengukuran tanpa empatik berisiko merusak program. Orang tua menjadi malu, sedih, kecewa, atau marah. Tak sedikit yang kemudian mangkir datang ke Posyandu gara-gara itu.
Lalu, bagaimana caranya berkomunikasi empatik di tengah tugas petugas kesehatan (atau sekarang melibatkan kader Posyandu) yang penuh dengan ukur-mengukur?
Beberapa hal berikut bisa dipertimbangkan.
Satu, perhatikan komunikasi nonverbal (tanpa kata-kata). Komunikasi nonverbal bicara lebih kencang ketimbang kata-kata. Jika wajah terkejut saat melihat timbangan, meski kata-kata yang disampaikan "Oh, ga apa-apa, kok.", orang lebih percaya pancaran wajah.
Kalau akan orang melihat perubahan wajah petugas saat mengukur (berat atau panjang anak) dan itu akan menimbulkan pertanyaan.
Cobalah konsisten, jangan berubah drastis. Jika mulai dengan tersenyum, usahakan selalu tersenyum.
Dua, hindari menyebut anak dengan kata-kata terlarang, seperti stunting, kerdil, cebol, kerempeng, kurus, kurang gizi, atau istilah-istilah teknik sejenis. Orang tua sangat sensitif terhadap penialain pada anak. Apalagi penilaian pada fisik atau tubuh anak. Menyebut kata-kata terlarang di atas adalah penghinaan.
Ketiga, sampaikan hasil pengukuran seperti melihat gelas setengah penuh. Daripada mengatakan anak ibu kurus, lebih baik katakan tinggal dikit lagi; tak sampai kilo lagi supaya pas nih beratnya.
Keempat, bersikap empati saat mendengarkan latar belakang atau alasan.
- Bertanya dengan cara menyenangkan. Misalnya, tanya pada anaknya (yang akan dijawab orang tua): "Babas ganteng, sukanya makan apa, sih?"; "Sejak kemarin Babas makannya apa saja? Coba cerita, hayuuk...."
- Di lain pihak, hindari pertanyaan yang memojokkan, seperti "Kok, sekarang Babas beratnya turun, ya?"; "Babas ga makan telur tiap hari, ya?
- Coba tempatkan diri kita pada lawan bicara saat lawan bicara memberi pennjelasan. "Wah, kalau saya sibuk seperti Ibu, saya juga kerepotan, sulit kalau masak sendiri."
- Selaraskan nonverbal. Kalau warga bicara dengan nada khawatir, maka khawatirkan pula nada suara kita. Kalau warga bicara dengan nada riang, maka riangkan suara Anda.