Indonesia merupakan negara dengan potensi kekayaan alam yang melimpah. Begitu juga dengan luas wilayahnya dari Sabang sampai Merauke yang terdiri atas berbagai macam pulau. Di antara nama pulau yang sudah tidak asing lagi di telinga kita ialah Pulau Sumatera yang masuk dalam urutan pulau terbesar keenam di dunia. Pulau ini terletak di bagian Barat Nusantara dan dikelilingi oleh perairan. Pulau Sumatera terdiri atas 11 provinsi. Salah satu di antaranya Provinsi Riau yang memiliki banyak pulau kecil di dalamnya. Pulau yang namanya masih asing di sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebuah pulau yang berada di Kabupaten Indragiri Hilir yang memiliki cerita tersendiri bagi para pendatang baru dari luar pulau tersebut.
Pulau itu bernama Pulau Burung.
Pertama kali mendengar nama Pulau Burung yang ada dalam pikiran kita pasti pulau tersebut dihuni oleh aneka macam burung. Namun, kenyataannya tidak demikian. Justru yang banyak menghuni pulau ini adalah binatang reptilia seperti buaya dan biawak. Pulau ini jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota. Dikelilingi oleh lautan lepas, pulau ini memiliki daya tarik tersendiri dalam hal ekonomi.
Bagaimana tidak, pulau dengan luas 538.33 km ini mampu membuka lapangan pekerjaan puluhan ribu manusia yang menaruh harapan besar bisa mengumpulkan pundi-pundi penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Banyak orang yang merantau ke pulau ini. Bahkan bisa dikatakan Pulau Burung sebagai tempat berimigrasi para pejuang rupiah. Banyak perantau yang mengundi nasibnya dengan bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik kelapa atau yang lebih dikenal dengan nama PT. RSUP (Riau State United Plantation).
Sebuah perusahaan yang mengolah kelapa menjadi santan yang siap dipakai. Salah satu produknya sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat Indonesia. Santan Sun Kara merupakan salah satu produk santan yang diproduksi di Pulau Burung ini. Saya pribadi tidak pernah membayangkan kalau di pulau sekecil ini terdapat pabrik kelapa besar yang mampu menjadi sumber pendapatan bagi ribuan jiwa baik itu penduduk tetap maupun penduduk tidak tetap.
Kebanyakan penghuni dari Pulau Burung merupakan para pendatang dari luar pulau. Ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, banyak perantau yang mudik ke kampung halamannya masing-masing sehingga menjadikan pulau ini sepi penghuni. Cerita lain di balik Pulau Burung ini ialah warna airnya yang tidak seperti pada umumnya. Warna air yang menyerupai warna teh yang biasa digunakan penduduk pulau ini untuk mandi dan mencuci baju.
Meskipun airnya seperti teh, akan tetapi airnya segar sekali bila digunakan untuk mandi dan menjadikan kulit bersih. Konon katanya sumber air tersebut berasal dari rawa-rawa yang mengandung banyak serat akar di dalamnya, sehingga menyegarkan bila dipakai untuk membersihkan tubuh dari kotoran. Meskipun begitu masyarakat di pulau ini harus berhati-hati jika mandi di rawa karena masih banyak buaya yang berkeliaran di pulau ini.
Tak sedikit warga yang menjadi korban keganasan buaya yang sebagian besar hidup di rawa-rawa. Selanjutnya, penggunaan listrik di Pulau Burung ini masih sangat minim. Tidak seperti di Pulau Jawa yang rata-rata listrik menyala selam 24 jam penuh. Di pulau ini, listrik akan menyala mulai dari pukul 17.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi. Setelah itu listrik dari PLN akan mati total. Sehingga bisa dibayangkan jika kondisi suhu sedang memanas di atas rata-rata akan seperti apa keringat yang mengalir bercucuran di tubuh kita. Sementara kita tidak bisa menyalakan kipas angin karena listrik sudah tidak menyala lagi. Panasnya suhu di pulau ini sangat menguras keringat.
Selain itu, kondisi jalan di Pulau Burung masih perlu banyak kucuran dana dari Pemerintah. Jalan yang ada di pulau ini lebarnya hanya muat untuk satu orang pengendara motor saja. Sehingga jika sedang berkendara mau tidak mau harus bergantian ketika sedang berlawanan arah. Apabila para pedagang hendak membeli barang dagangan ke pasar pusat agar mendapatkan harga yang lebih murah, mereka harus menyebrang laut terlebih dahulu. Ongkos untuk dua kali penyebrangan pergi-pulang sebesar dua puluh ribu rupiah.
Belum lagi bila hujan turun sangat deras, kondisi jalan di pulau ini sangat memprihatinkan. Alhasil, banyak yang tidak bisa pulang akibat kondisi jalan yang seperti roler coster jika terus nekat pulang. Kondisi jalan yang seperti itu tidak bisa dibiarkan terus menerus. Harus ada perbaikan ke depannya sehingga masyarakat bisa merasakan fasilitas penggunaan jalan yang layak pakai.
Melalui tulisan ini, saya berharap Pemerintah khususntya Dinas Perhubungan memperhatikan lagi kondisi jalan yang ada di pulau-pulau terpencil agar masyarakat lebih mudah dalam mengakses kebutuhan hidupnya dengan fasilitas jalan yang memadai. Program Pak Jokowi dalam membangun infrastruktur sangat dirasakan manfaatnya oleh banyak masyarakat.