[caption caption="Ilustrasi: shuttertock.com"][/caption]Di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah menargetkan akan membuat beberapa pembangkit listrik baru dengan daya total terpasang 35.000 Megawatt untuk mengakomodir pertumbuhan pengguna listrik dan industri di Indonesia.
Presiden nampaknya sangat optimis meski pada pemerintahan sebelumnya pemerintah hanya mampu merealisasikan 6.000 Megawatt dari target 10.000 Megawatt yang dicanangkan diawal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Di sulawesi selatan, pembangunan dimulai dengan groundbreaking Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) unit 2 milik Bosowa Energi di Jeneponto berkapasitas cukup besar yakni 2 kali 125 Megawatt yang berarti terdapat dua unit pembangkit yang menyuplai 125 Megawatt listrik yang lokasinya berdampingan dengan PLTU Bosowa Energi unit 1 yang juga memiliki daya yang sama.
Bosowa Energi bukanlah satu-satunya PLTU di Sulawesi selatan. Pada jaringan transmisi adapula PLTU Barru dengan daya terpasang 2 kali 50 Megawatt yang juga masuk pada sistem transmisi Sulawesi selatan dan barat (Sulselbar).
Lalu, Apa yang terjadi jika keduanya keluar dari jaringan sistem transmisi 150 Kilovolt Sulselbar ?. Kehilangan daya sebesar 500 megawatt yang berasal dari unit satu dan dua Bosowa Energi dari sistem transmisi Sulselbar adalah hal yang fatal. Tegangan di sistem akan turun dan menyebabkan pemadaman di seluruh jaringan transmisi sulselbar dan bisa saja akan terjadi pemadaman bergilir.
Pemulihan kondisi seperti ini pun akan berlangsung cukup lama, sistem kerja PLTU hampir mirip dengan saat kita memasak air di dapur. Di PLTU air direbus pada alat bernama Boiler dalam waktu cukup lama dan akan menghasilkan uap, uap inilah yang nantinya akan digunakan untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik melalui generator.
Sebagai contoh, PLTU Barru membutuhkan waktu paling cepat 12 jam untuk kembali pulih dan menghasilkan uap dari pembakaran batubara baru kemudian bisa masuk ke jaringan transmisi Sulselbar. Sementara PLTU Tonasa yang tidak masuk dalam transmisi butuh waktu hingga sehari untuk pulih dari keadaan seperti ini.
Lalu bagaimana dengan Bosowa Energy yang memiliki kapasitas yang lebih besar ?. Bayangkan saja jika Bosowa Energy harus keluar dari jaringan selama sehari, belum lagi jika dilakukan perbaikan jika terjadi kerusakan, atau pemeliharaan saat mencapai maksimal jam kerja yang memakan waktu berhari hari hingga berbulan-bulan untuk kembali masuk ke sistem jaringan transmisi jika dilakukan overhoul, maka bisa saja akan terjadi pemadaman bergilir di Sulawesi Selatan dan Barat.
Meski sangat efisien, namun pembangunan PLTU selama ini sejatinya juga memiliki kekurangan, selain yang saya tuliskan tadi, PLTU umumnya menggunakan batu bara sebagai bahan bakar yang sifatnya tidak terbarukan yang jika digali terus-menerus, jumlahnya akan habis dalam waktu dekat.
Beberapa dasawarsa terakhir, sistem kelistrikan di Sulselbar bergantung banyak pada kehandalan Pembangkit Listrik Tenaga Air Bakaru yang berlokasi di Pinrang.
Namun hal tersebut tidak akan berlangsung lama, kondisi pembangkit tersebut kini cukup memprihatinkan. Waduk yang digunakan untuk membelokkan air ke pembangkitan tahun demi tahun sejak 1992 mengalami pendangkalan.