Manusia bisa tumbuh seperti apa pun yang dia mau, bahkan dengan kesedihan itu.
"Ayo ke kebun binatang sekarang!" Raka menatapku sebentar, menghentikan langkahnya di tengah hiruk pikuk manusia-manusia yang diburu waktu, seakan mereka akan mati jika tak mengidahkan suara detik-detik-detik yang nyaring itu.
"Tiba-tiba sekali?" tanyaku keheranan. Ah seharusnya aku tak terkejut, ia memang suka seperti itu. Menawarkan sesuatu yang tak pernah kupikirkan sebelumnya.
Lelaki berperawakan tegap itu terkekeh pelan, memamerkan kedua lesung pipitnya. "Ini bukan tiba-tiba, Ra, sudah aku rencanakan sepekan lalu."
Aku berjalan ke pinggir taman, mencari tempat duduk untuk meneruskan obrolan yang mungkin akan berepisode-episode. "Ya tetap saja Raka ini tiba-tiba bagiku." Lagi, ia terkekeh, benci sekali aku ketika ia sudah mulai tengil begini. "Tetapi misalnya rencana ini aku katakan lebih dulu apakah kamu akan tetap menganggapnya tiba-tiba?"
"Tergantung," jawabku singkat.
Kini dahinya berkerut melenyapkan senyum menyebalkan itu menghilang. "Maksudnya?"
"Kalau lagi banyak kerjaan aku akan tetap menganggap rencanamu terburu-buru, tetapi kalau tidak, ya maka aku akan menganggap rencanamu sebagai liburan."
"Jika begitu kamu nggak cocok Ra buat tinggal di bumi."
"Maksudmu?" benar kan, obrolan ini jadi panjang. Bisa-bisa aku tidak kebagian telur gulung di dekat taman hanya karena menanggapi perdebatan ini.
"Hidup di bumi itu tiba-tiba terus Ra, takdir tidak akan peduli kamu siap atau tidak, semua takdir akan menjadi hal yang terus tiba-tiba di hidupmu dan kebanyakan manusia selalu tidak siap menerimanya."