Lihat ke Halaman Asli

Suci Santy Risalah

Risalah Husna

Belajar dari Pekerja Migran Indonesia di Hongkong

Diperbarui: 28 November 2017   14:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Pekan lalu, saya melakukan perjalanan yang bisa dibilang nekat. Dengan bekal uang yang tidak terlalu banyak, saya beranikan diri untuk menapaki sebuah negeri yang terkenal dengan bangunan-bangunannya yang menjulang. Hongkong sering dijuluki dengan negeri beton karena memang jumlah gedung disana sangat banyak. Gedung-gedung berderet dengan rapih. Didominasi dengan apartemen-apartemen yang menjadi tempat tinggal warga Hongkong. 

Orang-orang di Hongkong jarang sekali ada yang punya rumah tapak seperti di Indonesia. Mereka berjejal tinggal di apartemen-apartemen dengan biaya sewa yang setara dengan harga rumah di Indonesia. Bisa dibayangkan, berapa harga rumah di Hongkong? Sangat tidak terjangkau bagi warganya. Bahkan sekelas artis pendatang di Hongkong, tidak mampu untuk beli rumah. 

Kenapa harga rumah di negeri beton itu fantastis mahalnya? Karena keterbatasan lahan atau tanah yang ada di Hongkong. Negara bagian China ini luas negaranya tidak beda jauh dengan Jakarta. Tapi tingkat kepadatan penduduknya berlipat-lipat dari Jakarta. Makanya, saya sempat syok melihat begitu banyaknya manusia yang memadati setiap sudut Hongkong. Mereka bergerak cepat seperti berkejaran dengan waktu. Jujur, saya sempat pusing dengan banyaknya orang di sana. 

Walau negara Hongkong punya penduduk yang padat, tapi warganya hidup tercukupi. Selama saya disana, saya tidak melihat ada gelandangan atau tunawisma di jalanan. Kecukupan materi membuat warga Hongkong mampu mempekerjakan asisten rumah tangga (ART). Bahkan ada yang memiliki lebih dari satu asisten. Karena kebutuhan warganya akan ART, pemerintah Hongkong membuka 'jalur' bagi warga Indonesia yang ingin bekerja di Hongkong. Tentunya sebagai ART. Tercatat ada lebih dari 1500 warga Indonesia yang bekerja di Hongkong. Jumlah yang tidak sedikit. 

Dengan tawaran gaji yang menggiurkan, para perempuan-perempuan yang kebanyakan dari Jawa ini datang ke Hongkong. Ada yang datang lewat jalur resmi, tapi ngga sedikit juga yang ilegal. Mereka datang membawa ceritanya sendiri-sendiri. Ada yang terpaksa karena harus menghidupi keluarga, ada yang karena bercerai, ada yang mencari pengalaman, dan ada yang sekadar mencari uang semata. Alasan terakhir itu yang akhirnya dijadikan alibi seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) untuk menghalalkan segala cara. Tapi jumlahnya sedikit, masih banyak PMI yang memang murni ingin bekerja untuk keluarga. 

Lepas saya memberikan pelatihan blogging pada teman-teman PMI, saya diajak berkeliling Hongkong. Melihat wajah Hongkong yang kalau akhir pekan dipenuhi dengan perempuan-perempuan berwajah Indo dan berhijab. Siapa lagi mereka kalau bukan PMI yang sedang libur kerja. Akhir pekan, menjadi wakti yang ditunggu-tunggu bagi para PMI. Mereka diizinkan pergi karena memang sudah jatahnya. Jalanan Hongkong di hari minggu nampak seperti Indonesia. Perempuan berhijab panjang memenuhi hampir tiap sudut Hongkong. 

Victoria Park, Kowloon Park, dan Islamic Center adalah tempat-tempat berkumpulnya para PMI. Ada yang menghabiskan waktu libur dengan jualan makanan Indonesia, piknik, bersenda gurau dengan sesama pekerja, hingga mengaji. Banyak dari mereka yang melakukan hal-hal positif dan membuat bangga. Saya sampai terharu melihat banyaknya PMI yang memadati aula Islamic Center dan bergantian mengaji. Ahh, rasanya adem sekali. 

Alhamdulillah, selama di Hongkong saya selalu dipertemukan dengan PMI yang luar biasa baik. Seharian diajak menyusuri Hongkong dengan perut kenyang. Diceritakan kisah-kisah Hongkong sejak jaman dulu hingga hari ini dan keseruan lain yang sangat berkesan bagi saya. 

Perjalanan saya ke Hongkong membuat saya bersyukur akan hidup. Nikmat yang sudah diberikanNya sepatutnya memang selalu disyukuri. Bisa setiap saat kumpul dengan keluarga, anak-anak adalah nikmat. Para PMI di Hongkong harus menahan rindu pada keluarganya belasan bulan bahkan bertahun-tahun. Tidak mudah bagi mereka untuk bolak balik pulang kampung. Kontrak kerja yang ketat , ditambah tiket pesawat yang mahal jadi alasan kenapa mereka tidak bisa selalu pulang. Bahkan ketika lebaran. 

Pelajaran yang sangat berharga, kisah hidup, kerja keras, dan pantang menyerah para PMI, patut jadi contoh bagi kita. 

'Singgahlah ke Hongkong, dan kamu akan bersyukur' 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline