Lihat ke Halaman Asli

Kopi dan Teh, kau penyebabnya...

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kami pernah mengalami banyak pertengkaran, tapi inilah yang yang paling abadi…

Aku dan pria yang sekarang duduk di depanku ini sudah lama menjalin hubungan, tapi kami belum berniat untuk menikah. Entah ini keinginan siapa, pacarku ini masih bimbang (katanya).

Kami adalah sepasang kekasih yang unik. Jika pasangan lain berselisih karena perbedaan keyakinan atau perbedaan prinsip atau beda-beda lainnya, tapi bagi kami perbedaan selera minuman lah yang menjadi awal pertengkaran. Kopi atau teh, selalu itu. Itu yang membuat kami saling merenggangkan jarak.

Dia sedang menggerutu di depanku sekarang. Kulihat bibirnya yang tak henti berkomat-kamit. Haaa aku tertawa kecil. Sepintas mirip dukun. Lalu, dia menatapku tajam dan berkata “Buat apa kamu ketawa? Hidup ini begitu lucu nya di mata kamu?”

Diam adalah cara yang paling ampuh agar dia tenang. Tapi entah sudah berapa lama dia berbicara. Aku tidak tahu arah pembicaraannya, kadang menuju soal selera minuman, sampai rencana dia untuk menlanjutkan S2 nya, dsb. Aku hanya bisa terdiam, tapi nada bicaranya sudah mulai turun, kurasa dia lelah saat ia mulai meneguk kopi hangatnya perlahan. Haus rupanya.

Aku memajukan badanku ke arahnya. “Kopi tidak baik untuk lambung, pernah liat iklan atau baca artikel tentng kopi kan? Itu pun kalau kamu memang pecinta kopi”

Haaa rupanya dia tersedak, sudah kukira. Dia menata kembali cangkir kopinya itu di meja. Rupanya dia ingin berbicara, jadi ku mundurkan badanku kembali bersandar. Kutunggu sampai ia membuka mulutnya. Sial, dia mulai diam.

“Coba sesekali untuk minum teh. Minuman ini bukan minuman paling menyeramkan yang pernah kamu bayangkan” Kataku sambil terus menyodorkan cangkir teh.

Dia mulai membuka mulut nya secara perlahan. “Kamu tahu kopi? Tahu kelebihan dan kekurangan kopi? Kau mulai tertarik dengan kopi.” Senyum sinis memandang mataku.

Tsssah! Sial, kali ini aku yang terjebak. Biar! Aku mencoba diam, mencoba merangkai kata sebagaii “perlawanan” . Tapi, aku memang tahu banyak tentang kopi.

“Dan bagaimana dengan pikirmu mengenai teh? Bukankah kamu terlalu sering mengirimi kui beberapa artikel mengenai buruknya teh? Sebegitu hebatnya kah teh sampai  kau rela meluangkan waktu untuk mencari informasi itu?”. Akhirnya, aku bisa merangkai kata dengan tenang.

Haha dia mulai terdiam, sampai akhirnya berkata “Silahkan, cari pria yang menyukai mu lebih dari dia menyukai kopi. Kurasa kau tak akan menemukannya.” Katanya, lalu pergi.

Sial, aku ditinggalnya. Bukan menangis, aku malah tergelitik lucu. Dia mengundur pernikahan karena dia masih lebih menyukai kopi. Dan aku masih lebih menyukai teh. Impas bukan? Sembari berdiam, aku menikmati secangkir teh yang mulai mendingin ini. Terima kasih, teh..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline