Lihat ke Halaman Asli

Riris Rismawati

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung Kelas BIB LPDP

Rumah Senja

Diperbarui: 6 Juni 2024   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku lahir dari sebuah keluarga yang sangat berkekurangan. Aku dan saudara-saudara ku sudah terbiasa tidur dalam keadaan perut yang lapar, dingin nya udara malam pun sudah kami rasakan sebagai selimut bagi kami karena rumah kami memang terbuat dari bilik yang sudah bolong disana-sini.

Lantai tanah di rumah kami menjadi saksi kesengsaraan kami. Barang yang mungkin masih bisa dikatakan berharga hanya sebuah lemari jati peninggalan kakek yang disimpan di sudut ruang tamu.

Yang kami katakan ruang tamu adalah sebuah ruangan kecil yang diisi dengan sofa pemberian tetangga dengan jok yang berlubang-lubang.

Makanan termewah yang aku rasakan saat itu adalah sayur sop ceker, biasanya ibuku membuat sayur sop satu panci besar tetapi ceker ayamnya hanya ada 5, sayuran nya pun sedikit, kuah sayur nya saja yang berlimpah.

Jika ibuku pulang dari pengajian, biasanya beliau membawa "berkat" sebutan untuk nasi box yg diberi dari tempat pengajian

Ibu memang sengaja membawa nasi box itu ke rumah, dan entah kenapa menu di nasi box nya selalu sama, 1 butir telur rebus, tahu goreng, bihun dan tumis cabe.

Aku dan saudara-saudaraku akan membawa piring masing-masing yang berisi nasi, lalu ibuku membelah telur rebus itu menjadi 5 bagian, tahu 5 bagian, bihun 5 bagian, dan tumis cabe menjadi jatah ibu.

Kami makan sangat lahap, aku dan saudara-saudaraku sudah terbiasa dengan kehidupan seperti itu. Namun dengan keadaan seperti itu kami tetap bersemangat sekolah, bahkan kami selalu menempati peringkat 3 besar di kelas masing-masing.

Ibu yang selalu menyemangati kami untuk sekolah, sedangkan ayah terkadang pasrah dengan keadaan, seringkali dia menyuruh kami untuk keluar sekolah jika pihak sekolah sudah mengirimkan surat tagihan SPP, tapi ibu dia lah yang selalu menenangkan kami, ibu selalu bilang, "Kalian belajar saja yang rajin, tentang SPP nanti ayah dan ibu akan bayar, ibu nanti ke sekolah".

Suatu hari, di larut malam, aku tidak sengaja mendengar percakapan ayah dan ibuku, yang intinya ayah menyuruh ku dan Dani untuk tidak melanjutkan sekolah dulu karena biaya sekolah ternyata tidak bisa dibayar, terlihat wajah kusut ayahku saat itu.

Ibu hanya terdiam mendengarkan ayah, suasana hening beberapa saat, kemudian terdengar suara ibu yang sangat lembut, "Pak, biaya sekolah memang mahal, anak sulung kita, Senja, tahun ini masuk SMA, dani tahun ini masuk SMP, Galih dia naik kelas 5, Ima dan Ami (ibu menyebut nama adik kembarku) tahun ini mereka baru naik kelas 3, Ibu paham bapak lelah membiayai kami, tapi ibu yakin Alloh pasti menolong kita pak, Ibu akan berusaha bantu bapak, ibu mau minta izin, ibu mau kerja di tetangga, kebetulan mereka katanya sedang mencari pengasuh untuk anaknya, apa boleh ibu menerima tawaran mereka?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline