Lihat ke Halaman Asli

Maraknya Iklan Pengobatan Tradisional yang Menyesatkan

Diperbarui: 16 Juni 2017   13:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="source : mediakom.eshatnegeriku.com"][/caption]Beberapa  hari terakhir ini saya mendengar tentang kehebohan munculnya seorang wanita bernama Jeng Ana yang mengaku sebagai seorang herbalis atau ahli pengobatan herbal, dikarenakan saat dia melakukan wawancara di sebuah stasiun televisi dia menjelaskan beberapa istilah medis yang sama sekali salah. Saat itu dia mencoba mengartikan bahasa kedokteran dari hasil MRI (atau mungkin CT-Scan, saya tidak tahu dengan jelas) dan semua artinya tidak benar. Tentu saja beberapa rekan sejawat saya merasa resah karena itu dapat membohongi masyarakat.

Pengobatan herbal di Indonesia sendiri tercantum dalam undang-undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yaitu pada BAB VI bagian ketiga tentang pelayanan kesehatan tradisional pada pasal 59-60. Yang mana pengobatan tradisonal diperbolehkan di Indonesia dengan syarat pelayanan kesehatan tradisional tersebut telah mendapatkan izin dari lembaga kesehatan yang berwenang, dapat dipertanggung jawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat. Sedangkan tata cara dan  jenis pelayanan kesehatan tradisional diatur dalam Peraturan Pemerintah no 103 tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan tradisional. Dalam semua peraturan tersebut kesimpulannya adalah bahwa pengguna pelayanan kesehatan atau masyarakat harus mendapatkan manfaat dari hasil pengobatan, sedangkan penyedia layanan atau pengobat harus dapat menjamin keamanannya. Lalu, apabila ternyata pengguna tidak memperoleh manfaat dan malah kerugian karena obat tersebut tidak aman maka penyedia atau pengobat harus mempertanggung jawabkannya dan membayar ganti rugi. Secara regulasi hal tersebut sudah baik namun, menurut saya dalam prakteknya masih banyak kekurangan, karena banyak pelayanan kesehatan tradisional yang tidak memiliki izin dan menjual obat yang tidak tahu keamanannya namun, tetap dapat melakukan praktiknya secara bebas. Dalam profil Jeng  Ana yang saya lihat di dalam web nya, ia mencantumkan obat yang dia gunakan berupa tanaman herbal seperti keladi tikus, biji joho, biji janatri, dan lain-lain maka itu  yang dalam UU termasuk dalam pengobatan tradisional yang mengunakan ramuan. Namun, saya tidak tahu bagaimana dalam proses yang sebenarnya dan apakah mendapatkan izin atau tidak.

 

Masyarakat seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih pelayanan pengobatan tradisional. Sekalipun dalam UU kesehatan sendiri memang membagi dua kategori obat yaitu obat yang dalam arti dibuat dengan bahan kimia yang disebut sebagai obat saja dan obat tradisional yang dibuat dengan bahan alami, yang mana bisa diartikan keduanya memiliki kesetaraan. Masyarakat memang memiliki hak untuk memilih dari keduanya namun, sebaiknya berpikir lebih dulu apakah pengobatan tersebut bisa mendatangkan manfaat dan terjamin keamanannya. Untuk masalah keamanan ini sebenarnya pemerintah lah yang wajib mengatur dan mengawasi sesuai dengan yang tercantum pada  pasal 61ayat (2) UU kesehatan. Pembinaan dan pengawasan ini dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat rumah tangga, masyarakat, pelayanan kesehatan dasar di puskesamas, KAB/Kota, provinsi dan kementerian kesehatan bersama lintas sector terkait yang telah bekerja sama dengan asosiasi pengobat tradisonal.

Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang tergiur dengan pengobatan tradisional salah satunya karena banyak iklan di media massa yang mencantumkan berbagai janji seperti dapat mengobati penyakit tanpa operasi, dalam jangka waktu tertentu, tanpa efek samping dan biasanya juga memeberikan beberapa testimonial dari pasien sebelumnya yang mengatakan bahwa dia sembuh setelah melakukan pengobatan itu. Semakin maraknya iklan tersebut, yang belum tentu benar kebenarnya maka seharusnya masyarakat mendapatkan perlindungan dari informasi berupa iklan pelayanan kesehatan yang dapat menyesatkan tersebut. Kenapa saya menyebut menyesatkan? karena dalam iklan tersebut biasanya menyebutkan sesuatu tanpa dasar dan ilmu pengetahuan yang jelas. Contoh saja iklan yang mengatakan bahwa pengobatannya dapat sembuh dalam waktu singkat padahal penyakit yang dikatakan tersebut adalah penyakit metabolisme maupun degenaratif yang secara rasional dan keilmuan membutuhkan waktu yang lama dalam proses penyembuhan bahkan tidak dapat disembuhkan. Iklan-iklan tersebut kurang tepat dan banyak yang menyalahi peraturan. Sebaiknya pemerintah selain melakukan pengawasan terkait keamanan pelayanan kesehatan tradisional juga memperhatikan tentang iklan dan informasi yang kurang tepat tersebut. Sekalipun sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur yaitu Permenkes no.1787 tahun 2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan namun, saya rasa dalam prakteknya masih belum efektif karena masih banyak ditemukan iklan tidak jelas tersebut. Kerjasama multisektor dan juga peraturan daerah mungkin diperlukan dalam hal ini. Untuk KPI atau badan pengawas periklanan sebenarnya sudah pernah melakukan himbauan terkait iklan pengobatan tradisional/alternative ini tapi, belum ada saksi yang diberikan dalam pelanggaran yang menyebabkan masih berkembanganya iklan tersebut. Selain itu menurut saya juga perlu adanya suatu sosialisasi pada masyarakat agar masyarakat lebih berhati hati, kritis dan tidak mudah percaya dengan iklan yang ada di media massa. Sekali lagi masyarakat berhak mengetahui informasi yang benar.

 

-dr.Rizki Widya Nur-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline