Lihat ke Halaman Asli

Saat Jarak Terbentang #1 Diantara Dua Pilihan

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

LAMPU kamar masih menyala. Di sisi lain jarum jam yang berbentuk khas valentine itu sudah menunjukkan pukul 08.00. Matahari seharusnya sudah menyinari ruang kamar itu, tapi tak nampak cahaya di sudut ruangan. Belum ada yang membuka gorden jendela kamar hari ini, yah itu kenyataannya.

Aya masih terbaring dengan seribu hayalan di lamunannya. Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap lekat-lekat jam di atas meja sebelahnya. Otaknya masih beku untuk sekedar bangun dari tidurnya. Tubuhnya masih lelah,sepertinya ia masih butuh beberapa jam untuk menutup mata.

“Aya, kamu sudah bangun?”, terdengar suara ibu di luar.

Aya mengangkat selimut yang ia pakai sampai menutupi wajahnya. Ia tidak ingin diganggu hari ini.

“Ayaa..aya.. Eta menunggumu di ruang tamu”, dengan ketukan keras di pintu

Seolah tidak ingin diganggu hari ini, Aya berteriak di balik selimut, “Iya bu, sebentar”. Aya tahu ibunya memiliki perawakan yang cantik, wajah awet mudah dengan tubuh gitar spanyol. Perawakannya memang perfect tapi permasalahan membangunkan Aya dari tempat tidur semuanya akan dikesampingkan. Wajah Ibunya pasti akan nampak merah padam jika tidak terdengar suara di balik pintu.

“Ahhh...” desahan kecil dari Aya sebelum beranjak dari tempat tidur.

Aya melangkah sempoyongan keluar dari kamar tidurnya menuju ke ruang tamu. Tubuhnya seperti ingin remuk karena kelelahan. Ia menguap beberapa kali sambil memncoba membuka matanya yang masih ingin tertidur.

Sepertinya ia belum sampai ke ruang tamu, tempat eta menunggu. Tubuhnya terasa berbalik Arah, langkahnya cepat dengan mata yang membelalak.

“Etaa.. apa-apan kau ini!” dengan nada ketus Aya bertanya dan langsung berbalik arah.

“weeew..”

Kepala mereka berbenturan. Eta tidak menyangka Aya akan berbalik arah membenturnya. Biasanya ia selalu menurut saja jika diperlakukan begitu.

“Aya,bilang dong kalau mau balik, sakit nih” seru eta yang jatuh ke lantai karena tidak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya.”Siapa suruh langsung nyeret aku begitu”. sambil menjulurkan tangan membantu Eta berdiri.

“Mandi sana, kita keluar hari ini”,

“Apa?, keluar ? Aku capek Eta, kamu tahu sendiri tadi malam aku tidur jam....” Mulut Aya kini tertutup, tubuhnya kembali didorong Eta dari belakang menuju kamarnya yang tinggal beberapa langkah lagi.

Eta yang berusia 17 tahun itu sudah mengerti sifat sahabatnya. Aya tidak akan melangkah jika ia tidak mendorongnya. Apalagi ia tidak mempunyai kegiatan hari ini. Tubuhnya memang nampak lemah, tapi Eta tahu sahabatnya itu masih memiliki kekuatan untuk beraktivitas hari ini. Setahunya Aya memang sibuk dengan kegiatan Osis sekolahnya akhir-akhir ini dan tadi malam adalah puncak kegiatannya.

***

Eta dan Aya sudah berada dalam mobil yang membawa mereka ke suatu tempat. Eta duduk santai mengutak-atik ponselnya di samping Aya.

Aya mengemudi mobil dan fokus melihat jalan. Sesekali ia melirik memberti pertanda tanya, kemana mereka akan pergi.Eta tidak pernah mengatakannya tadi, yang Aya tahu ia harus mengemudi. Eta tidak memiliki keahlian mengemudi sepertinya walaupun sebenarnya ia bisa. Lagi pula Aya tidak akan membiarkan orang lain mengemudikan jika ia masih berada dalam mobil tersebut. Ketraumaannya dikemudikan oleh orang lain masih membekas sampai sekarang.

Sahabatnya itu memandang Aya lalu tersenyum ramah. “Kita ke Waduk yah Beb,”.

Waduk itu adalah tempat pelarian mereka saat mereka merasa telah dipecundangi dunia. Itu terletak tidak jauh dari kota Soppeng. Bersampingan dengan permandian alam Ompo. Tempatnya sejuk dan biasanya selalu ramai dengan pengunjung. Hari adalah hari yang paling ramai. Yah, Hari Minggu. Tapi kenapa merekakesana? Eta bersedih? Tapi tak nampak kesedihan di raut wajahnya ia bahkan tersenyum ramah mengatakan akan kesana kepada Aya.

Oh iya, Beb adalah panggilan antara mereka berdua. Mereka terbiasa mengatakan kata itu untuk saling menyapa. Tidak banyak orang yang tahu tentang sapaan mereka. Bukaannya mereka tidak bisa memanggil nama pendek mereka masing-masing. Hanya saja mereka nyaman untuk memanggil demikian satu sama lain dan memberi bukti berapa kedekatan persahabatan mereka yang sudah seperti saudara.

“Ompo? tidak salah ?” nada heran kini terdengar diseberang Eta.

Kembali tersenyum manis ke arah Aya, “kemudikan saja dengan mulus beb, aku akan menceritakannya nanti”. Tanpa komentar Aya kembali fokus mengemudikan mobil yang ia bawa. Kali ini dia menyerah, sepertinya ada Rahasia di balik senyum Eta. Tapi Aya tidak terlalu memikirkan untuk saat ini. Tubuhnya masih terasa lelah. Ia juga tidak bisa menolak ajakan sahabatnya itu. Sudah seminggu Aya sibuk sendiri dengan kegiatannya.

Lima belas menit kemudian, mobil Jazz Merah itu telah terparkir di dekat Waduk.Aya belum mematikan mesin mobil, terdengar pintu mobil di sebelah kiri itu terbuka.

“Beb, mau kemana ? seru Aya yang kaget Eta tiba-tiba saja keluar.

Eta berlalu begitu saja, entah ia mendengar atau pura-pura tidak mendengar. Tapi Suara yang dikeluarkan Aya bisa didengar dengan jarak seperti itu.

kemana Eta? Belum terjawab lamunan Aya yang diitnggalkan di dalam mobil. Matanya kini menatap lurus ke depan. Nampak sebuah gasebo yang biasa di tempati kedua sahabat itu melepas penat. Kini terlihat Eta menyapa dua cowok yang sepertinya tidak jauh beda dengan usia mereka.

Perawakan dan style itu membuat Aya menyipitkan matanya, Tanpa sadar ia berteriak sendiri di dalam mobil “Mirwan, Ali ?” Mereka datang ? Mereka akan menagihku ? Beberapa pertanyaan kini berputar di otak Aya, udara di dalam mobil seakan semakin sedikit ada rasa sesak yang timbul. Tatapan Aya kosong, Ia bingung mencari jawaban.

Lambaian tangan Eta nampaknya tak mampu menyadarkan Aya dari tatapan kosongnya. Di depan sana Eta mulai bingung. Ada apa dengan Aya ? Pandangannya lurus melihat Eta tapi tak ada respon dari Aya saat Eta mencoba memanggilnya.

Lagu whistle-Flo Rida memecah keheningan di dalam Mobil. Aya kini tersentak kaget. Ponselnya berbunyi. Nama Eta muncul di layar ponsel dengan berbagai macam hiasan gantung itu. Ia mendesah, “Halo “, “iya tunggu”.

Di masukkan kembali ponsel itu ke tas tangannya dan bersegera menyusul Eta yang dari tadi sudah bercengkrama dengan mirwan dan Ali.

Bagaimana Kelanjutannya? Waiting for the next post...

SEBELUM #2 PESAN akan ada post cerita saat Ulang Tahun Aya yang ke 16..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline