Lihat ke Halaman Asli

Ririn Karina

Menulis dan terus menulis

Pencinta Alam Gadungan

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap kampus pasti memiliki Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Salah satunya UKM "Pencinta Alam". UKM "Pencinta Alam" biasanya disesuaikan dengan nama kampus. Ambil contoh, MAPAWIKA (Mahasiswa Pencinta Alam Widya Karya), HIPAWIDHA (Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam Wisnuwardhana). Keduanya di Malang, Jawa Timur. Ada juga UKM "Pencinta Alam" yang tidak menyebut nama perguruan tinggi. Misalnya, IMAPALA (Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam) atau HIMAPALA (Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam).

Sebelum berziarah ke alam bebas (gunung, belantara, padang sabana, sungai), mahasiswa pencinta alam biasanya membangun menara berbentuk tebing di sekitar kampus. Menara dari bahan besi beton, papan, kayu itu dirancang mirip lereng gunung atau tebing sungai. Hampir setiap hari, mereka melatih keterampilan mendaki gunung di menara itu. Mereka menggenjot ketahanan fisik, mental pantang menyerah dan keberanian dalam menghadapi risiko.

Pencinta alam ini umumnya memiliki ciri hampir sama. Berperilaku agak "nyleneh", rambut gondrong, pakaian "kumal" (acak-acakan), sepatu butut dan jarang membersihkan diri. Pakaian khas mereka (jaket) seringkali dilabeli tulisan: "Sang Penakluk Alam", "Sang Musafir Abadi", "Mahasiswa Pemberani," dll. Konon, tulisan itu bisa menambah semangat kepahlawanan mereka ketika menjelajahi alam bebas.

Benarkah mereka sungguh-sungguh mencintai lingkungan? Sebagai mahasiswa, saya sering mengikuti kegiatan mahasiswa pencinta alam. Semula saya berpikir, mahasiswa pencinta alam sungguh mencintai alam. Namun setelah beberapa kali mengikuti kegiatan mereka, pikiran pun berubah 180 o. Ternyata, mereka bukan pencinta alam.

Lingkungan hidup kita tidak hanya dirusak oleh penebang liar dan konglomerat (pengusaha kayu), tapi juga oleh para mahasiswa yang mengaku "pencinta alam" itu. Mereka buang kotoran (berak dan kencing) di sungai, puncak gunung, hutan, dsb. Bahkan sisa makanan berikut bungkusnya, kertas koran dan botol plastik dibiarkan berserakan di tengah hutan atau aliran sungai.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, kalangan "pencinta alam" belum pernah menyelamatkan lingkungan hidup. Sebaliknya, kegiatan mereka justru dapat merusak alam. Sebab, ketika berjalan di tengah hutan, lereng gurung atau pinggir sungai, selalu ada tumbuhan kecil yang diinjak, ditebas dan dipatahkan. Malahan "pencinta alam" ini acapkali membuat api unggun di tengah hutan. Ironisnya lagi, mereka suka berdisko ria mengitari api unggun di kegelapan malam, sehingga memperparah kerusakan lingkungan.

Seandainya mereka sungguh cinta lingkungan, kegiatan utama mereka semestinya bukan mendaki gunung atau mejeng ria di tengah hutan "perawan". Sebaiknya mereka membersihkan aliran sungai yang kotor, menanam pohon pada lahan-lahan gersang atau ikut membantu pasukan kuning membersihkan sampah di tengah kota.

Beberapa waktu lalu, warga Surabaya tiba-tiba resah gara-gara sampah. Anehnya, tidak seorang pun mahasiswa "pencinta alam" yang peduli terhadap keluhan warga. Mereka malahan pergi ke hutan dan melakukan kegiatan yang justru merusak lingkungan. Padahal hutan asri atau sungai bening tidak perlu kehadiran mereka.

Begitu pula ketika warga Purwokerto tertimbun tanah longsor, tak seorang pun "pencinta alam" terpanggil untuk menanam tanaman pencegah erosi, seperti bambu, lidah gajah, dll. Ternyata, sebutan "mahasiswa pencinta alam" hanya mengecohkan warga kampus. Mereka membentuk UKM "Pencinta Alam" untuk sekadar menghabiskan anggaran kampus.

Pencinta alam beneran semestinya berusaha mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup. Mereka akan berusaha menanam tumbuh-tumbuhan pada lahan-lahan kering, berusaha mengatasi tanah longsor, bahaya banjir, berusaha menyelamatkan flora dan fauna serta menentang perbuatan merusak lingkungan. Usaha-usaha itulah yang seharusnya menjadi fokus perjuangan para pencinta alam. Sehingga mereka tidak dicap "pencinta alam gadungan".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline