[caption id="attachment_361296" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi komik edukasi bencana oleh Yuka Matsumoto/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]
Dalam pertempuran di Selat Tsushima pada 27-28 Mei 1905, Jepang membuktikan bahwa literasi adalah senjata sangat ampuh untuk mengalahkan lawan. Ketika pertempuran itu terjadi, hampir semua tentara Jepang tahu ‘membaca dan menulis’. Mereka mahir menggunakan persenjataan militer modern dan memanfaatkan infrastruktur intelijen militer secara benar bahkan sudah bisa memodifikasi sistem telegraf nirkabel dari Jerman. Sebaliknya, hanya sekitar 20 persen personel militer Rusia yang bisa ‘membaca dan menulis’. Dengan kemampuan literasi yang rendah, serangan Rusia sering salah sasaran. Banyak personel yang tidak mampu mengoperasikan secara benar persenjataan modern saat itu. Atas kemenangan Jepang ini, Geoffrey Jukes dalam The Russo-Japanese War 1904-1905 menulis bahwa penentu hasil perang bukanlah teknologi, tetapi tingkat literasi.
Dalam konteks kekinian, literasi seringkali dikaitkan dengan tingkat kemajuan masyarakat dan daya saing sebuah negara. Sejumlah negara yang memiliki tingkat literasi tinggi umumnya identik dengan masyarakat dan bangsa yang maju. Literasi di sini tentu tak hanya dalam arti kemampuan baca tulis. Namun dalam makna yang luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Sebagaimana dikemukakan Kirsch dan Jungeblut dalam Literacy: Profile of America’s Young Adult, literasi kontemporer memiliki makna sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, literasi menjadi poros upaya peningkatan kualitas hidup manusia.
[caption id="attachment_11" align="aligncenter" width="228" caption="Komik Tsunami"] [/caption]
Literasi dan Kesiagaan Masyarakat terhadap Bencana
Dalam konteks yang lebih spesifik yakni kesiagaan terhadap bencana, negara dan masyarakat dengan tingkat literasi yang tinggi umumnya juga memiliki ketangguhan dan kesiagaan yang tinggi terhadap bencana. Jepang adalah salah satu negara yang menjadikan literasi sebagai salah satu ujung tombak untuk membangun masyarakat siaga dan tangguh terhadap bencana. Potensi bencana yang sangat besar membuat mereka terus belajar dan berbenah diri. Bersama kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologinya, Jepang membangun masyarakatnya menjadi masyarakat yang tangguh dan siaga bencana. Salah satunya dilakukan melalui literasi.
Komik berisi pesan-pesan dan edukasi bencana yang saat ini menyebar luas di banyak negara termasuk Indonesia adalah salah satu kreativitas Jepang untuk mengedukasi masyarakatnya melalui cara-cara yang kreatif dan menyenangkan. Salah satunya melalui manga atau komik khas Jepang. Ide ini dicetus oleh Yuka Matsumoto, mantan Miss Japan untuk Miss Asia Pasific 2005 yang juga seorang jurnalis di NHK International. Yuka memilih manga sebagai sarana untuk mengedukasi masyarakat terutama anak-anak yang acapkali menjadi korban terbesar hampir di setiap bencana.
Komik dipilih karena mudah dipahami. Bersama rekannya Nayu Hanii, seorang komikus Jepang, Yuka membuat komik yang berisi pesan-pesan tentang pendidikan kebencanaan lalu menyebarkannya ke berbagai wilayah dan negara yang rentan bencana. Menurut Yuka, pendidikan tentang bencana adalah sangat penting. Karena teknologi tanpa diikuti pendidikan bencana, tidak akan pernah memadai.
Tak hanya di Jepang, edukasi kebencanaan juga dilakukan Yuka di sejumlah daerah dan negara rawan bencana termasuk Aceh yang 10 tahun lalu mengalami bencana tsunami sangat dahsyat. Fakta ini kian membuka cakrawala pikir kita, bahwa untuk membangun masyarakat siaga bencana, literasi adalah salah satu kunci utama.
Tantangan Indonesia
Sama halnya dengan Jepang, Indonesia merupakan negara rawan bencana. Namun berbeda dengan mereka, kesiagaan dan ketangguhan masyarakat kita terhadap bencana masih rendah. Sebagai contoh, bila kita bandingkan gempa yang melanda Aceh pada Desember 2004 dan gempa yang melanda Jepang pada Maret 2011. Kedua gempa ini terjadi dalam kurun waktu yang relatif berdekatan yakni hanya berjarak 6 tahun dengan skala richter yang tidak jauh berbeda (Aceh 9,3 SR, Jepang 8,9 SR), namun memiliki jumlah korban yang bertaut cukup signfikan. Gempa dan tsunami Aceh menelan korban lebih dari 300 ribu jiwa, sedang gempa dan tsunami Jepang menelan korban sekitar 10 ribu jiwa.
Perbedaan jumlah korban di atas antara lain disebabkan oleh kesiapan masyarakat masing-masing negara terhadap bencana yang mengancam kapan saja. Masyarakat Jepang cenderung lebih siap. Tidak hanya ketika bencana terjadi, namun juga ketika berusaha bangkit dan menata hidup kembali paska bencana. Sebuah keadaan yang cukup bertolak belakang dengan kondisi masyarakat kita.
Dalam konteks kesiagaan terhadap bencana, literasi kembali membuktikan keampuhannya. Bahwa ia adalah salah satu senjata utama untuk membangun masyarakat yang maju, tangguh dan bersahabat dengan alam bahkan bencana. Inilah tantangan besar Indonesia saat ini, bagaimana mendongkrak tingkat literasi masyarakat yang masih rendah dan jauh tertinggal. Seperti Yuka, kita bisa memulainya dengan hal-hal sederhana dan menyenangkan, namun memiliki efektivitas tinggi untuk membangun kesadaran masyarakat. Kita bisa memulainya dari rumah, sekolah, lingkungan sekitar, di manapun berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H