Dalam perbankan syariah, jual beli tawarruq semakin banyak digunakan dalam struktur produk simpanan, pembiayaan, pengurusan aset dan lain-lain. Jual beli tawarruq ini merupakan jual beli yang mayoritas ulama sepakat bahwa penerapannya dibolehkan dalam fiqh mu'amalah. Namun, ada ulama yang melarang jual beli tawarruq ini. Diantaranya adalah Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim.
Definisi Tawarruq diartikan sebagai seseorang yang membeli barang dagangan dengan harga yang ditangguhkan, untuk menjualnya dalam bentuk tunai dengan harga lebih rendah. Biasanya, ia menjual barang dagangannya kepada pihak ketiga, dengan tujuan untuk mendapatkan uang tunai. Tawarruq ini terjadi apabila seseorang (nasabah bank) membeli suatu komuditas atau barang secara cicilan (bukan tunai) dari bank, yang sebelumnya bank tersebut membeli terlebih dahulu barang tersebut kepada pemasok. Kemudian nasabah tersebut menjual kembali barang bukan dari semula dimana barang itu di belinya dengan harga yang lebih rendah daripada harga belinya dari bank.
Tawarruq didefinisikan sebagai orang yang membeli barang dengan harga ditangguhkan untuk dijual kembali dengan harga yang lebih rendah. Ia biasanya menjual barang tersebut kepada pihak ketiga untuk mendapatkan uang tunai. Tawarruq terjadi ketika seseorang (nasabah bank) membeli barang atau barang dagangan secara cicilan (bukan tunai) dari bank yang sebelumnya telah membeli barang dari pemasok. Nasabah kemudian menjual kembali barang tersebut bukan di tempat pembeliannya, dan dengan harga di bawah harga pembelian dari bank.
Fatwa ini dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 2011. DSN-MUI, yang merupakan badan pengambil keputusan untuk produk dan transaksi perbankan Syariah di Indonesia, mengeluarkan pernyataan tentang praktik tawarruq. Tawarruq masih dalam tahap penelitian di Indonesia, karena ada beberapa aspek yang memerlukan penelitian lebih lanjut, mulai dari data yang dikumpulkan di lapangan hingga teori-teori para ulama terdahulu mengenai hubungan antara khilafififah dan mashlahah dalam transaksi tawarruq. Hingga saat ini, tawarruq tidak diperbolehkan di Indonesia. Ada beberapa alasan mengapa DSN dan MUI tidak memperbolehkan akad tawarruq:
- Menurut Konferensi ke-17 Islamic Fiqih Academy, praktik tawarruq munnazam yang saat ini digunakan di beberapa bank Islam, dilarang karena hanya merupakan transaksi di atas kertas untuk mendapatkan uang tunai.
- Salah satu syarat muamalah amaliyah adalah perlunya transparansi dan tidak adanya unsur penipuan (gharar) atau ketidakjelasan (syubhat).
- Akad tawarruq lebih banyak mafsadatnya daripada maslahatnya, jika dilihat dari sisi kemaslahatan.
Berdasarkan Al-Qur'an dan Al-Hadits yang dikuatkan oleh para ulama terdahulu dan sekarang, jual beli tawarruq dibolehkan (mubah) oleh syariah berdasarkan Ijma' ulama. Tawarruq merupakan salah satu transaksi Al-Buyu yang termasuk dalam keumuman seluruh transaksi Al-Buyu dan dianggap halal karena tidak ada dalil yang qat'i (jelas) dari ayat-ayat Al-Qur'an maupun Al-Hadits yang menyatakan jual beli tawarruq diharamkan.
Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulama yang secara tegas melarang jual beli dan praktik tawarruq. Selain Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim adalah salah satu ulama yang juga melarang praktik tawarruq. Beliau menyatakan bahwa 'illah riba dapat terjadi dalam tawarruq. Namun, tawarruq lebih buruk daripada riba karena melibatkan biaya dan kerugian yang lebih besar. Selain itu ulama dalam madzhab Hanafi, Muhammad Ibn Al-Hasan Al-Syaibani, menyatakan bahwa tawarruq hukumnya makruh.
Berdasarkan pada kitab fikih terkenal Ibnu Taimiyyah, Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyyah mendefinisikan tawarruq sebagai sebuah kasus di mana seseorang membeli barang secara kredit (cicilan) dari orang lain dan menjualnya secara tunai kepada pihak ketiga (bukan penjual pertama) dengan tujuan untuk mendapatkan uang atau modal dan kemudian memperoleh keuntungan dari penjualan tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki kuda yang dibelinya dengan harga 180 dirham, kemudian ada yang menawarnya dengan harga 300 dirham untuk tiga bulan, apakah hal tersebut halal baginya? Maka beliau menjawab soal dari seorang lelaki tersebut, "Jika ia membelinya untuk diambil manfaatnya atau untuk ia perdagangkan maka tidaklah mengapa menjualnya sampai suatu waktu (dengan kredit). Akan tetapi, ia tidak boleh mengambil keuntungan dari orang yang membutuhkan kecuali dengan keuntungan yang wajar. Ia juga tidak boleh menaikkan harga karena darurat (karena ia membutuhkan). Sebaliknya, jika dia membutuhkan dirham, lalu dia membeli dan menjualnya pada saat itu juga dan mengambil harganya, maka ini termasuk makruh menurut pendapat yang paling shohih. Dari pembahasan ini, beliau mengatakan bahwa jika tujuan atau niat seseorang bukan untuk memanfaatkan barang yang dibelinya, akan tetapi untuk mendapatkan uang, meskipun uang tersebut sangat dibutuhkan pada saat itu dan dia tidak bisa meminjam, maka hal itu tidak diperbolehkan.
Hukum jual beli tawarruq juga merupakan riba. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa 'illah riba ada dalam penjualan tawarruq. Namun, tawarruq lebih buruk daripada riba karena melibatkan biaya dan kerugian yang lebih tinggi. Beliau juga mengatakan bahwa tawarruq adalah makruh berdasarkan beberapa pendapat ulama seperti pendapat Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu 'anhu yang mengatakan bahwa tawarruq itu mirip dengan riba. Sesungguhnya Allah memerangi orang-orang yang melakukan atau terlibat dalam transaksi riba, berdasarkan ayat 279 surat Al-Baqarah:
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَوَ لَا تُظْلَمُون
"Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya". (Al-Baqarah: 279).
Ibnu Taimiyah berpendapat pada jual beli tawarruq, bahwa jika seseorang membeli barang untuk mendapatkan keuntungan atau untuk diperdagangkan maka tidak ada salahnya untuk menjualnya di kemudian hari (secara kredit). Namun, penjual tidak boleh mengambil keuntungan dari orang yang membutuhkan kecuali dengan keuntungan yang wajar. Penjual tidak boleh menaikkan harga karena kebutuhan yang mendesak atau darurat (karena pembeli sangat membutuhkannya). Jika pembeli membutuhkan dirham dan membelinya untuk dijual kembali pada saat itu juga dan mengambil harganya, maka hal ini dilarang menurut Ibnu Taimiyyah.