Siang begitu terik namun ia tetap terduduk pada trotoar perempatan jalan itu
Merah, oren dan hijau matanya begitu sigap menunggu lampu merah menyala
Begitu cepat ia berlari menuju roda-roda yang menunggu lampu hijau
Menjajakan setumpukan koran yang menjadi penopang hidupnya
Dalam hitungan detik ia kembali terduduk di pinggiran trotoar
Dengan napas yang masih terengah-engah
Tangan mungilnya sesekali mengusap peluh bercampur air mata yang mengalir di wajahnya
Tangis yang hilang ditelan ramainya jalanan
Sementara dalam dadanya menyimpan sakit yang teramat
Namun ia mengerti hidup yang begitu keras telah menjadikannya tumbuh dengan tangguh
Baginya tak ada lagi impian masa depan ia telah kehilangan asa dibenaknya hanya terlintas sesuap nasi untuk hari esok