Lihat ke Halaman Asli

Riri Fahlen

pemerhati budaya

Parang Pisang

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1340785833394722019

Parang Pisangadalah upacara melepaskan bathin anak sumbang. Upacara ini dilaksanakan oleh keluarga yang memiliki anak sumbang, maka keluarga dari Bapak (bako) dan Juga dari pihak keluarga ibu si anak sumbang. berperang dengan mengunakan pisang sebagai senjata. Upacara ini dilaksanakan setelah kesepakatan antara pihak bako dengan kaum dari ibu si anak sumbang. Pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak  menyediakan pisang yang telah direbus untuk dijadikan amunisi perang. [caption id="attachment_184943" align="aligncenter" width="300" caption="Pasangan Anak Sumbang"][/caption] Pihakbakobersama-sama karib kerabat yang telahdiucokakan datang ke rumah kaum dari ibu si anak dengan membawa antaran yang beragam. Demikian juga dari kaum dari ibu sianaksumbangmenunggu kedatanganbakosi anak. Kedatangan rombonganbako diiringi dengan keseniansarunai dantalempongbeserta tarianSimuntu.Ke dua belah pihak memiliki satu/duaSimuntuyang merupakan orang bertopeng dengan pakaian daun pisang yang berfungsi sebagai panglima perang. [caption id="attachment_184944" align="aligncenter" width="300" caption="Simuntu Berpakaian Daun Pisang Kering"]

13407860571055711557

[/caption] Ketika rombongan sampai di halaman kediaman keluarga ibu si anak, maka kedua belah pihak melantunkan kata bersambut dan adat basa-basi untuk menentukan pilihan anak yang akan diambil oleh pihak bakonya. Dalam tawar menawar itu terjadilah perselihan karena masing-masing pihak tetap dengan pilihannya. Karena tidak terjadinya kata sepakat, maka di bawah komando simuntu terjadilah parang pisang antara kedua kubu. Perang ini dilakukan oleh kaum perempuan sedangkan kaum laki-laki hanya boleh menyaksikan saja. Setelah dilakukan parang pisang beberapa saat, kemudian kedua belah pihak berunding lagi untuk menentukan anak yang mana yang akan dibawa oleh “induak bakonya”. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk memisahkan bathin secara lahir si kembar agar kemudian hari tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan jiwa kedua anak tersebut dalam hukum adat dan syarak. Hal ini didasarkan pada pandangan masyarakat bahwa anak yang lahir kembar sepasang (Sumbang) satu laki-laki dan satu perempuan dianggap telah kawin secara bathin meskipun berasal dari satu darah keturunan. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran adat dan syarak di kemudian hari oleh anak sumbang tersebut maka diadakanlah parang pisang untuk memeranginya supaya bathin keduanya lepas dan lupa akan perkawinan bathin  itu. Anak sumbang adalah anak kembar dua sejoli, satu laki, satu perempuan. Bako adalah seluruh famili dari pihak keluarga ayah. Sarunai merupakan alat musik tiup tradisional Minangkabau yang terbuat dari bambu/buluh Talempong merupakan alat musik pukul yang terbuat dari tembaga/kuningan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline