Lihat ke Halaman Asli

“Surga yang Tak Dirindukan” Intinya Bukan Tentang Urusan Poligami

Diperbarui: 27 Juli 2015   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Apakah agama mengajarkan perempuan harus selalu mengikhlaskan hatinya untuk disakiti?

Ketika memutuskan menonton film “Surga yang Tak Dirindukan” (ditulis oleh Asma Nadia, salah satu pengarang favorit), sebelumnya saya sudah mempersiapkan diri kalau terpaksa harus pulang dalam keadaan ‘babak belur’ dan merasa ‘kalah’. Sekilas saya sudah baca sinopsisnya, yaitu cerita tentang seorang perempuan baik-baik yang bersuami laki-laki (terlalu) baik, dan kenyataannya harus menerima ketidakadilan dengan dipoligami secara diam-diam. Klasik. A.k.a, basi.

Su’udzon saya, paling-paling tujuannya (seperti biasa) untuk mem-brainwash otak kaum hawa supaya mampu tegar menerima kenyataan kalau ternyata suatu ketika suaminya ketahuan nikah lagi. Ceritanya, sebagai istri sholeha boleh aja marah aja di awal, tapi ujungnya harus bersedia menerima dengan ikhlas, demi sebuah surga yang dijanjikan sebagai hadiah. Bahwa sesungguhnya poligami adalah ”tabungan untuk membeli tiket ke surga”. Sebuah “keistimewaan” yang khusus dipersembahkan bagi kaum perempuan untuk membuktikan betapa hatinya sangat “suci” karena mampu bersikap baik kepada perempuan lain yang menjadi isteri dari suaminya. Bahwa hanya isteri “berkualitas tinggi” yang mampu patuh melayani kebahagiaan suaminya, sekalipun ia di-duakan, di-tigakan atau bahkan di-empatkan sekalian.. Wow. Saya jadi esmosih.

Tapi untungnya saya kenal pengarang ceritanya, Asma Nadia. Penulis inspiratif yang cerdas, berwawasan luas dan setahu saya sih nggak pernah sudi berlalu meninggalkan pembacanya begitu saja tanpa sebelumnya berusaha menyuguhkan ‘sekeranjang’ hikmah yang ‘sehat-bergizi’, meskipun kadang-kadang suka nggak sesuai dengan selera si penerimanya. Lagipula Asma Nadia juga seorang isteri yang (in syaa Allah) berbahagia dikaruniai suami setia plus 2 orang anak beranjak remaja yang nggak kalah pintar dan berprestasi dengan ayah dan bundanya. So, saya berusaha rileks, melupakan sejenak urusan kemungkinan agenda brainwash mem-brainwash itu. Pasti bukan itu tema kampanye pengarangnya. Lalu sayapun menikmati saja ceritanya sebagai sebuah hiburan semata.

Usai menonton, akhirnya saya baru bisa menarik kesimpulan. Mungkin penulisnya memang sengaja menggunakan setting poligami itu semata-mata hanya untuk mewakili penggambaran sebuah peristiwa ‘kiamat kecil’ yang paling menyakitkan dan berpotensi menghancurkan harga diri sampai di level maksimal bagi seorang manusia (dalam hal ini perempuan/isteri). Alasannya ya karena Asma Nadia memang seorang perempuan (yang senang memberi pencerahan kepada kaum perempuan). So latar belakang itu (mungkin) ia pilih dengan pertimbangan akan mampu diresapi secara mendalam, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh sebagian besar pembaca buku-bukunya (dan penonton film ini) yang kebanyakan adalah kaum perempuan juga.

Seperti satu kalimat favorit dalam film itu yang saya anggap menjadi inti dari segala inti yang ingin disampaikan (yang kurang lebih) : “Sedih atau bahagia hanyalah milik Allah yang dititipkan..”

Maka saya memaknai cerita dalam film ini simple saja, yaitu sebagai sebuah ajakan untuk menyerah tanpa syarat pada ketentuan Sang Pemilik Kejadian. Ini bukan cuma tentang urusan poligami, tapi berlaku untuk semua kejadian dalam hidup siapapun, baik perempuan maupun laki-laki. Sebuah seruan untuk mampu berdamai pada kehendak Sang Pencipta, apapun bentuk dan rasanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline