Belt Road Initiative masih menjadi topik hangat yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, baik itu pada media massa maupun sosial. Pasalnya Indonesia juga menjadi salah satu negara yang melakukan kerjasama dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri milik China tersebut.
Belt Road Initiative (BRI) atau yang juga kerap disebut sebagai One Belt One Road (OBOR) merupakan sebuah proyek visioner milik Presiden dari Republik Rakyat China (sekarang dikenal sebagai Republik Rakyat Tiongkok), Xi Jinping yang dikemukakan pada Peripheral Diplomacy Work Conference tahun 2013 silam di Kazakhstan. Merujuk pada konsep Jalur Sutra milik China pada era Dinasti Han, proyek ini memiliki tujuan untuk meningkatkan perkembangan ekonomi melalui program pembangunan infrastruktur. Kebijakan luar negeri China ini dinilai sebagai sebuah proyek masif yang sangat ambisius mengingat keinginan Presiden Xi Jinping untuk menghubungkan perekonomian Asia dengan Eropa dan Afrika.
Dalam pelaksanaannya, Belt Road Initiative memiliki dua unsur utama yaitu, Silk Road Economic Belt yang menghubungkan China melalui jalur darat dan 21st Century Maritime Silk Road yang menghubungkan China melalui jalur laut. Harapannya melalui kebijakan BRI tersebut, China nantinya akan memiliki akses mudah dalam mencapai kepentingan negaranya. Tak hanya itu, dengan persaingan dagang yang terjadi antara China dan Amerika, tak heran pula apabila negeri tirai bambu tersebut ingin melakukan ekspansi terkait pengaruhnya dalam ekonomi dunia.
Sejak dikemukakannya rencana jalur sutra China, negara-negara di dunia menilai bahwa kebijakan tersebut memiliki keuntungan yang sangat banyak bagi perkembangan mereka sebagai sebuah negara. Terlebih lagi tawaran pendanaan penuh dari China membuat negara-negara berkembang semakin tergiur untuk menginisiasi kerjasama di bawah kebijakan Belt Road Initiative. Pada akhirnya, hal ini dapat kita lihat dan buktikan dari banyaknya Memorandum of Understanding (MoU) yang telah ditandatangani China bersama dengan kurang lebih 150 negara lain yang tersebar mulai dari Benua Eropa, Asia, hingga Afrika dalam 10 tahun pelaksanaannya.
Bagi Indonesia, Belt Road Initiative dapat menjadi sebuah wadah yang memberikan peluang bagi negara untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur, kestabilitasan ekonomi serta memperkuat hubungan bilateral Indonesia-China. Seperti yang kita ketahui, Indonesia sebagai negara berkembang masih memiliki jalan yang panjang dalam mencapai kemajuan. Terlebih lagi dengan luasnya persebaran wilayah Indonesia yang membuat pemerataan menjadi hal yang sedikit kompleks untuk dilakukan. Demi merealisasikan pemerataan pembangunan infrastruktur di Indonesia, perlu adanya andil dari investor asing karena biaya yang diperlukan tidak sedikit. Maka dari itu, lahirnya kebijakan Belt Road Intiative ini seakan menjadi jembatan emas Indonesia untuk menggempur kemajuan infrastruktur yang menyokong pertumbuhan ekonomi dan kemajuan politik negara.
Sebagai contoh, Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut yang lebih luas dibandingkan wilayah daratannya. Meski begitu, Indonesia masih belum mampu untuk memanfaatkan kekayaan maritimnya secara maksimal. Mempertimbangkan fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur kelautan melalui 21st Century Maritime Silk Road BRI merupakan sebuah keuntungan besar untuk Indonesia karena juga sejalan dengan visi Indonesia sebagai "Poros Maritim Dunia". Kerjasama-kerjasama seperti pembangunan pelabuhan dibeberapa wilayah di Indonesia menjadi salah satu pendukung proses persebaran barang dan jasa kepada area yang sulit untuk dijangkau serta memperlancar kegiatan ekspor impor menggunakan jalur maritim. Ini nantinya akan sangat berdampak pada proses ekonomi negara. Terlebih lagi posisi strategis Indonesia yang dilewati jalur pelayaran utama dunia memberikan wadah untuk terjadinya proses perdagangan antarnegara yang memungkinkan besarnya pendapatan negara.
Selain investasi yang mendorong pengembangan ekonomi dan politik, kebijakan BRI China juga mendorong terjadinya peningkatan teknologi dan inovasi melalui pertukaran ilmu bagi negara yang termasuk kedalam program tersebut. Salah satu contohnya adalah dengan diadakannya Belt and Road Conference on Science and Technology Exchange dari pemerintah China untuk negara-negara BRI. Pada konferensi tersebut, Indonesia menawarkan suatu bentuk kerjasama dalam penelitian bersama negara-negara yang tergabung dalam program Belt Road Initiative. Langkah tersebut tentunya bertujuan untuk mengatasi masalah penelitian yang terhalang oleh biaya.
Selain itu, kolaborasi penelitian juga mendorong terjadinya pertukaran ilmu antara peneliti Indonesia dengan peneliti dunia sehingga mampu terjadinya peningkatan dalam inovasi serta penambahan cara pandang dalam menghadapi suatu permasalahan. Ini yang nantinya akan berdampak pada peningkatan kualitas SDM Indonesia agar mampu untuk bersaing dalam tingkat global. Apalagi saat ini sedang maraknya era globalisasi maka peningkatan SDM menjadi hal yang sangat krusial bagi kemajuan suatu negara.
Apabila mengkaji keuntungan-keuntungan yang Indonesia dapatkan selama melakukan kerjasama dengan China dalam Belt Road Initiative, tentu saja keikutsertaan Indonesia dalam kebijakan tersebut dapat dinilai sebagai keputusan yang sangat tepat. Dengan bantuan pendanaan dan investasi, Indonesia mampu meningkatkan negaranya melalui berbagai sektor. Namun apabila tidak disikapi dengan benar, Indonesia bisa saja mengalami ketergantungan yang berlebihan.
Belum lagi dengan isu-isu mengenai diplomasi "Jebakan Utang" yang tersebar, menyebabkan banyak masyarakat menjadi resah akan motif terselubung China dalam kebijakan BRI. Pada dasarnya, inisiatif sabuk dan jalan dilaksanakan dengan pemberian dana dari China kepada negara-negara berkembang yang nantinya dana tersebut akan dibayarkan kembali. Akan tetapi karena nominal yang tidak sedikit, terdapat beberapa negara yang kesulitan untuk membayar utang mereka. Utamanya yaitu negara-negara di Afrika yang sampai saat ini masih mengalami permasalahan dalam sektor ekonominya.
Pada kasus Sri Lanka, ketidakmampuan mereka dalam membayar utang membuat mereka harus merelakan salah satu aset penting negaranya yaitu Pelabuhan Hambantota. Pembangunan Pelabuhan Hambantota melalui pinjaman dana dari China awalnya diharapkan dapat membantu dalam perkembangan ekonomi negaranya. Namun demikian, pada faktanya pelabuhan itu tidak dapat memberikan keuntungan yang didambakan. Sehingga untuk menutupi utang yang telah membengkak, Sri Lanka harus menyewakan pelabuhannya kepada China demi menambah devisa negara.