Lihat ke Halaman Asli

(Sebuah Parodi tentang Negeri) Benarkah DPR Merupakan "Wakil Rakyat Sesungguhnya"?

Diperbarui: 19 Agustus 2018   10:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

DPR sebagai lembaga legislatif negara mengemban peran penting dalam merumuskan produk perundang-undangan bagi Indonesia. Sebagai wakil rakyat terpilih melalui pesta demokrasi negeri ini, tampuk harapan rakyat diemban dalam pundak para politisi yang seharusnya dapat direalisasikan sebagai perwujudan aspirasi rakyat. Namun, kekonyolan dunia politik di Indonesia, terutama DPR sebagai 'wakil rakyat' masih dipertanyakan. 

Menyongsong 73 tahun HUT DPR RI, patut dipertanyakan, apakah benar DPR itu wakil rakyat atau sekadar wakil suara partai dan keluarga yang mendambakan harta.

Secara garis besar, DPR memiliki salah dua di antara berbagai kewajiban memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat dan menampung serta menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen. Namun, menilai capaian kinerja DPR RI, terdapat beberapa hal yang bias sebagai sebuah badan wakil rakyat.

 Salah satunya adalah DPR meminta anggaran pembangunan gedung baru dan apartemen khusus anggota legislatif yang dalam APBN 2018 dianggarkan sebesar Rp.601 M. 

Di tengah logika politik yang sederhana, DPR justru menghamburkan APBN alias uang rakyat untuk anggaran yang secara logika tidak terlalu penting. Masih banyak hal yang perlu mendapat anggaran 'besar' dan perhatian dari wakil rakyat tersebut. 

Hal tersebut tampak bahwa semakin tingginya angka kesenjangan ekonomi dan sosial dimana rakyat hidup dalam kemelaratan, sementara di luar sana anggota dewan hidup di atas kemewahan. Hidup dalam tekanan harga BBM, beras, telur, daging, dan kebutuhan hidup lainnya.

Banyak anggota DPR yang hanya tunduk pada garis kebijakan partai politik. Sebagai bagian dari partai politik yang mengusungnya, para wakil rakyat justru mementingkan kepentingan golongannya dibanding kepentingan rakyat sebagai puncak dari pemerintahan sebuah negara. 

Kepentingan pragmatis anggota dewan justru berseberangan jauh dengan harapan rakyat yang nyatanya justru sejalan dengan kepentingan fraksi. Absah saja bila seorang anggota dewan masih berjalan di atas sendir partai politknya. Namun, akan lebih baik pula jika tidak melupakan etentitas DPR sebagai wakil rakyat yang seharusnya mengemban harapan rakyat.

Dunia perpolitikan DPR makin disulut dengan disahkannya UU MD3, yang menyebutkan bahwa siapapun dapat dipidana apabila merendahkan martabat DPR. Yang perlu dipertanyakan adalah martabat dalam hal apa? Bahkan UU tersebut menyatakan lembaga yang tidak hadir dalam rapat DPR merupakan bentuk penghinaan. 

DPR tidak dapat semena-mena bersembunyi di balik akronim 'DPR' untuk kepentingan pribadi dan bebas dari jerat korupsi. Menganggap ketidakhadiran sebagai sebuah penghinaan, lantas, bagaimana dengan anggota dewan yang justru tidak hadir dalam rapat paripurna, tidur saat rapat terbuka, dan sebagainya. 

DPR adalah badan yang perlu tumbuh dan tidak dapat ada tembok pemisah antara rakyat dan wakil rakyat. DPR harus mencecap kritikan untuk menjadi dorongan dalam mencapai kinerja terbaik guna mewujudkan harapan rakyat. Jika kinerja saja masih kurang, sementara kritik dianggap penghinaan, tentu, DPR telah menganut politik 'buruk muka cermin dibelah'.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline