langkah diseretnya untuk menapaki malam, ia paham, bahwa sore tidak akan menunggunya dengan diam. lelaki itu bergegas mengemasi masa depan, membungkusnya dengan sobekan-sobekan harapan, yang lusuh oleh hujan cobaan, kering oleh kemarau yang berkepanjangan.
lelaki itu tertinggal sendiri, telah diantarkannya teman dan saudara, satu demi satu pergi. pada musim yang kini berganti, nasib belum juga bergeser ke arahnya, barang satu senti. tapi ia tetap kukuh berdiri, menyusuri jalan-jalan yang pernah ia tapaki, memunguti janji-janji yang belum juga tergenapi.
di ujung malam, ia berhenti, bersila di emperan, jari-jarinya gemetar membuka bungkusan dari sobekan-sobekan harapan, perlahan. dipandanginya masa depan yang telah menciut oleh waktu yang berlalu surut kedinginan.
matanya lurus memandang langit, lelaki itu berkomat-kamit, mengucap syukur, rebah dan tertidur. ia menanti mimpi-mimpi yang memberinya satu lagi kesempatan, untuk kembali pada musim-musim yang terlanjur berlalu hilang. tak ada yang lelaki itu sesalkan, selain satu kata yang belum terucapkan, kepada istri dan buah hati, yang lebih dahulu pergi tak kembali.
lelaki itupun akhirnya terlelap dalam tidur panjang.
Jakarta, 13 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H