Negeri Cuan dan Janji
Oleh: Ripan
Di pagi buta, kala matahari belum menyapa,
Terdengar gemerincing logam membelah sunyi desa.
Hak suara, yang dulu lambang kebebasan jiwa,
Kini tertukar murah, sekadar nilai rupa.
Akal, mahkota tertinggi karunia semesta,
Teronggok di sudut, tertutup debu lupa.
Diam membisu, tak disentuh nurani,
Kala kantong penuh, nuranipun tak berarti.
Mengapa mereka yang bersilat lidah kau puja?
Yang nyaring hanya kata tanpa karya?
Mengapa bintang yang redup kau tinggalkan,
Padahal sinarnya nyata mengubah zaman?
Masyarakatku, tidakkah kau sadar,
Pilihanmu membentuk jalan panjang menuju kelam atau pendar?
Tidakkah kau lihat wajah anak cucu nanti,
Yang akan menuai benih kelalaian ini?
Mereka yang pandai bicara,
Menyulam mimpi dalam kebohongan yang sengaja.
Sorak-sorai rakyat dibentuk bagai irama,
Namun kerja nyata mereka hilang dalam gema.
Di sisi lain, mereka yang diam bekerja,
Mengangkat tanah, membangun harapan dari luka.
Namun sorot mata tak pernah tertuju,
Karena rakyat lebih mencinta panggung yang semu.
Oh, negeriku, di mana hak dan akal saling bercampur,
Kenapa keduanya tak pernah bersua di simpul akur?
Saat suara tergadai oleh kilau uang fana,
Kita merelakan masa depan jadi luka.
Maka pagi buta terus berjalan tanpa henti,
Bersama tawar-menawar janji yang basi.
Dan kita, tetap terbuai dalam bujuk dan rayu,
Menunggu hari esok yang menjanjikan pilu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI