Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat sejumlah kebijakan untuk mengantisipasi peningkatan kredit bermasalah, likuiditas dan permodalan perbankan. kebijakan ini merupakan peluang bagi debitur terdampak virus corona (Covid-19). Namun sekaligus merupakan kekhawatiran bagi pejabat bank : akibat hukum jika tidak sesuai prinsip kehati-hatian.
Gambaran Umum
Restrukturisasi kredit adalah terminologi keuangan yang digunakan perbankan dalam penyelamatan perkreditan -melalui penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit atau penangguhan pembayaran pokok.
Dasar hukum restrukturisasi kredit : UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998, Peraturan Presiden No . 3 Tahun 2006, POJK No. 11/POJK.03/2020 serta ketentuan lainnya.
Risiko Hukum
Seringkali kita melihat perbedaan pandangan mengenai kredit bermasalah mengenai pengenaan pasal dakwaan. Yakni pasal pidana sesuai UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU RI No. 20 tahun 2001, ataukah pasal dalam UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan? Restrukturisasi kredit adalah objek hukum perdata. Namun jika terdapat oknum pejabat bank yang memberikan fasilitas restrukturisasi secara melanggar hukum -dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi (Tipikor).
Ketentuan Internal Perusahaan
Unit kerja pelaksana restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 di suatu perusahaan, harus memastikan sistem operasional dan prosedur (SOP) sudah mengakomodir risiko hukum -terkait unsur-unsur pidana Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Sekurang-kurangnya dua hal :
1. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Pengertian "memperkaya" adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya lagi. Perbuatan ini dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara. Misalnya menjual/membeli, menandatangani kontrak, memindahbukukan dalam bank -secara melawan hukum- akan dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.