Lihat ke Halaman Asli

Pelabelan BPA: Tambahan Beban Konsumen dan Hilangnya Fokus BPOM

Diperbarui: 14 November 2022   12:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Belum usai dampak pandemi covid 19, pelabelan BPA berpotensi menambah beban masyarakat dan Industri. Guru besar dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Pakar Hukum Persaingan Usaha Prof.Dr Ningrum Natasya Sirait, SH. M.Li, mengatakan bahwa pemerintah harus sangat hati-hati dalam membuat regulasi. 

Layaknya, menurut Ningrum regulasi wajib mempertimbangkan urgensi dan dampaknya bagi masyarakat dan industri Terutama dalam konteks ini perihal pelabelan BPA pada galon guna ulang Polikarbonat. 

Ningrum menerangkan bahwa dunia muda ini berjalan sangat dinamis, tidak ada kepastian dan semua orang menjadi kolaps terlebih akibat pandemic. 

Oleh karenanya, kepastian hukum bagi industri sangatlah penting dan bagi masyarakat tentu polemik akibat kepentingan tertentu haruslah tidak terjadi pada kondisi saat ini.

Bergulirnya isu pelabelan BPA pada AMDK galon guna ulang polikarbonat ini sudah terhitung lebih dari satu tahun. 

Dalam perjalanannya, isu ini ibarat perang pada musim dingin yang panjang. Artinya menembakan peluru kadang tidak terlihat akibat udara dan salju yang menutupi pandangan namun demikian warga dalam area terdampak perang sudah saling mengerti siapa yang berperang melawan siapa. 

Isu ini pun demikian, masyarakat sejatinya cukup bisa membaca siapa yang bersaing dan apa sebab persaingannya terlebih adanya regulasi pelabelan BPA yang dinilai sangat diskriminatif. Maka dari itu apa yang terjadi mengenai pelabelan ini termasuk suatu hal yang kompleks namun tidak penting.

 BPOM sebagai otoritas pengawas obat dan pangan juga dalam hal ini seakan gagal fokus. Isu pelabelan yang dikesankan untuk segera selesai seakan diburu-buruk sesuatu. Padahal jika melandaskan pada prinsip good regulatory dan priority scale terhadap isu yang berkembang maka sudah jelas pelabelan ini sendiri tidak dibutuhkan untuk saat ini. Mengapa demikian? Dikarenakan masih banyak isu yang sejatinya lebih memenuhi persyaratan evidence base dan BPA belum memenuhi persyaratan tersebut mengutip dari Hermawan Saputra selaku Dewan Pakar Ikatan Ahli Masyarakat Indonesia (IAKMI).

"Untuk BPA ini, dari kasus konsumsi kami belum melihat evidence base atau fenomena dan fakta yang cukup dan berdampak luas di masyarakat. Apabila ada isu zat ini berbahaya khususnya di pangan, maka kendalinya ada di produksi dan didistribusi bukan di labelnya. Ini tidak bisa coba-coba," ujar Hermawan.

Sedangkan zat lainnya yang sudah menjadi ancaman nyata adalah zat etilen glikol dan dietilen glikol pada obat sirup anak, yang setidaknya menewaskan lebih dari 100 anak Indonesia. Diduga zat ini ada dalam obat sirup anak dan menyebabkan gagal ginjal akut misterius. Maka, demikian bukankah BPOM telah terbukti gagal fokus? Sehingga keamanan dan kesehatan masyarakat diabaikan begitu saja?

Lebih jauh dari itu polemik yang terjadi dan meresahkan  masyarakat serta menjadi beban bagi industri terkait akibat wacana pelabelan BPA ini. Sejatinya, sedari awal sudah mengalami cacat logika. BPOM ingin melabeli galon guna ulang polikarbonat dengan tulisan berpotensi mengandung BPA. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline