Lihat ke Halaman Asli

Rio WibiS

Mahasiswa

Pengemplangan Pajak dan Kasus Korupsi di Masa Jawa Kuno

Diperbarui: 17 April 2023   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berbicara mengenai kasus korupsi atau penggelapan dana di Indonesia memang tidak ada habisnya. Kasus korupsi di Indonesia diibaratkan seperti sebuah penyakit akut. Artinya adalah untuk menyembuhkan Indonesia dari penyakit korupsi perlu kerja keras dan waktu yang lama. Adapun pengertian dari korupsi itu sendiri adalah adanya suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara-cara yang tidak dibenarkan secara hukum. Berdasarkan sumber yang dilansir dari kompas.com terbitan tanggal 24 Maret 2022 penyebab maraknya tindak korupsi adalah adanya penegakan hukum yang dinilai masih lemah. Penegakan hukum yang seharusnya memberikan rasa keadilan bagi masyarakat justru malah sebaliknya sehingga timbul rasa tidak puas dari masyarakat. Timbulnya rasa tidak puas dari masyarakat adalah suatu bukti adanya penegakan hukum yang masih lemah.

Penilaian indeks persepsi korupsi di Indonesia yang dikeluarkan oleh Transparency International menunjukan bahwa indeks persepsi korupsi di Indonesia mendapatkan peirngkat 96 dari totak 180 negara dengan total poin 38 dari 100 poin. Sedangkan di tingkat Asia Tenggara posisi Indonesia menduduki peringkat kelima dimana torehan ini berada 1 peringkat di bawah Vietnam. Singapura adalah negara dengan tingkat korupsi yang paling rendah di Asia Tenggara. Pada tahun 2021 Singapura telah meraih skor indeks persepsi korupsi sebesar 85 poin.

Kasus korupsi di Indonesia ini bukanlah menjadi suatu hal yang baru. Artinya adalah kasus korupsi ini telah lama ada di Indonesia bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka dan mengalami masa penjajahan bangsa barat. Di masa Jawa Kuno, kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh pegawai kerajaan selalu berkaitan dengan pajak. Raja tentunya tidak menarik pajak secara langsung melainkan melalui pegawai kerajaan yang disebut dengan istilah nayaka. Nayaka adalah pegawai kerajaan yang bertugas mengumpulkan pajak yang telah dibayarkan oleh rakyat.

Beragam profesi pada era Jawa Kuno dikenakan pajak. Adapun profesi-profesi tersebut diantaranya adalah petani yang memiliki lahan akan dikenakan pajak ataupun mereka yang hanya menjual padi juga dikenakan pajak sebesar 10% dari total pendapatan, dan mereka yang bekerja sebagai pedagang baik pedagang besar maupun pedagang eceran akan dikenakan pajak penjualan. Bahkan tidak hanya itu, para pedagang asing yang datang dari luar negeri juga dikenakan pajak. Keterangan ini didasarkan pada informasi yang dijelaskan dalam prasasti cane bahwa warga asing yang dikenakan pajak diantaranya adalah Keling, Arya, Srilanka, Dravida, Pandikira, Remen, dan Campa.

Selain berbagai macam profesi yang dikenakan pajak, ada juga wilayah-wilayah khusus yang tidak dikenakan pajak. Wilayah khusus yang tidak dikenakan pajak biasanya disebut sebagai sima atau perdikan. Ada beberapa hal suatu wilayah ditetapkan sebagai sima atau perdikan yang pertama adalah penduduk di suatu desa memiliki jasa yang besar bagi kerajaan seperti yang diceritakan di dalam prasasti Turunhyang. Prasasti Turunhyang menceritakan bahwa pada tahun 1044 Masehi Mapanji Garasakan memberikan anugerah kepada penduduk desa Turunhyang karena penduduk desa setia membantu Jenggala dalam melawan kerajaan Kadiri. Adapun alasan yang kedua suatu wilayah ditetapkan sebagai sima adalah penduduk di daerah tersebut diwajibkan memelihara fasilitas-fasilitas yang dibangun oleh kerajaan seperti candi atau bendungan. Walaupun ditetapkan sebagai sima, daerah tersebut tidak sepenuhnya di bebaskan dari pembayaran pajak. Hanya saja pajak yang harus mereka bayarkan sudah dikurangi dari ketetapan pembayaran pajak sebelumnya. Prasasti Kamalagean mengungkapkan bahwa raja telah menetapkan pengurangan pajak yang harus diserahkan kepada kerajaan dimana sebagian pajak tersebut digunakan untuk kepentingan bendungan Wringin Sapta.

Kisah pengemplangan pajak pada masa Jawa Kuno telah dimuat dalam prasasti Palepangan yang berangka tahun 826 Saka atau 906 Masehi. Prasasti Palepangan menceritakan bahwa adanya perseteruan antara penduduk desa palepangan dengan seorang nayaka (pemungut pajak) yang bernama Baghawanta Jyotisa. Oleh penduduk desa kasus tersbut akhirnya dilaporkan kepada menteri utama atau yang saat itu disebut dengan istilah rakryan mahapatih i hino yang saat itu dijabat oleh Mpu Daksa yang suatu hari nanti menjadi raja di Kerajaan Medang. Setelah dilakukan pengukuran ulang hasilnya sangat mencengangkan. Ada perbedaan ukuran antara yang dilakukan oleh Baghawanta dengan Mpu Daksa.

Orang Jawa Kuno memiliki cara sendiri dalam memberantas kasus pengemplangan pajak atau kasus korupsi yang terjadi pada masa itu. Menurut kitab Kutara Manawa perbuatan korupsi atau pengemplangan pajak dikategorikan sebagai tindakan astacorah. Kitab kutara manawa sendiri merupakan kitab undang-undang hukum pidana yang pernah berlaku pada masa Kerajaan Majapahit. Adapun menurut kitab ini, hukuman bagi orang yang melakukan tindakan korupsi atau pengemplangan pajak adalah dibunuh dengan cara ditenggelamkan di laut. Sedangkan harta bendanya akan disita oleh kerajaan dan seluruh keluarganya akan dijadikan budak.

Korupsi adalah suatu permasalahan yang cukup serius bagi bangsa Indonesia. Apabila kasus-kasus ini dibiarkan tanpa adanya penegakan hukum yang tegas maka yang akan terjadi adalah kemunduran bahkan kehancuran. Kita seringkali mengagung-agungkan tindakan tegas terhadap kasus korupsi di negara lain, namun kita lupa bahwa secara catatan historis bangsa Indonesia memiliki caranya sendiri dalam menangani tindakan kasus korupsi. Kita hanya perlu sedikit menengok kebelakang dan belajar dari sejarah masa lalu bangsa. Kunci utama agar Indonesia terbebas dari korupsi adalah adanya penegakan hukum yang tegas serta adil. Tanpa adanya penegakan hukum yang tegas dan adil maka impian kejayaan, kemakmuran, dan kemajuan tidak akan pernah tercapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline