Lihat ke Halaman Asli

Rio Slamet Remanda

Pendidik dan Musisi

Penyesalan yang Terlambat

Diperbarui: 29 Juni 2021   12:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penyesalan Yang Terlambat

Kami merupakan sepasang suami istri yang diumpamakan seperti pohon kecil. Istriku adalah akar yang setia memelukku dari belakang, memberikan semua yang kubutuhkan dan mengokohkanku. Saat kami masih dalam proses tumbuh, aku begitu kokoh sebagai tunas. Hama, cahaya matahari yang sedikit serta sedikitnya makanan yang disiapkan akarku bukan alasan untuk aku berhenti tumbuh. Aku adalah tunas paling bahagia, sebab akarku begitu setia meski apa yang kuberi tak sebanding dengan apa yang ia korbankan untukku.

Hingga bertahun-tahun kemudian, akhirnya kami tumbuh menjadi pohon dengan bunga yang memukau, daun lebat, dahan kokoh, ranting yang banyak, serta buah yang melimpah.

Benarlah kata orang bahwa ujian yang sesungguhnya adalah saat kau terbuai tanpa sadar. Bukan kesakitan melainkan sesuatu yang melenakkan. Sebagai pohon yang kokoh, aku terbuai oleh sepoi angin hingga melupakan akar yang senantiasa setia menemaniku.

"Apa kesetiaanku selama ini tak cukup untuk membuktikan bahwa aku layak?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari lisannya saat kekhilafanku terbongkar.

"Sayang, aku .... "

Bukan tak sanggup berkata-kata, melainkan aku tak punya jawaban sebagai pembelaan diri. Apa yang kulakukan terlampau salah. Aku berkhianat atas apa yang kami sepakati bertahun-tahun lalu saat pertama kali memutuskan hidup bersama: menumbuhkan kehidupan pohon yang lebih baik.

"Aku akan melakukan apa pun untukmu. Termasuk mati jika itu membuatmu bahagia" ucapnya hari itu.

Memang benar bahwa cinta dan kesetiaan dapat membuat orang melakukan apa pun termasuk mati. Namun, tak tahukah Dewi bahwa jika ia mati, tanpa tebasan pedang pun aku akan ikut mati bersamanya.

Semua pengkhianatan itu tentu bukan tanpa alasan. Dewi, akarku, terlalu tenang. Pohon kami terlalu indah. Dulu, yang kubutuhkan memang ketenangan ini. Entah mengapa, saat semua dalam genggaman aku justru kehilangan gairah untuk bertumbuh. Bersama akar-akar kecil itu, aku menemukan diriku yang lain. Diriku yang lebih hidup.

"Kupikir aku sudah sangat sempurna menjadi istrimu, Mas. Aku terlalu percaya diri selama ini. Buktinya, kau masih mencari pelukan pada wanita-wanita yang usianya justru lebih muda dari bungsumu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline