Sejak akhir tahun lalu, saya banyak menyimak ulasan buku ini di twitter. Buku yang judul cukup mengganggu, sampulnya artistik, nama panjang penulisnya juga lumayan susah dieja, hehehe.
Dari beberapa ulasan yang saya baca, kelihatannya Semua Ikan di Langit bergenre surealis (atau magical realisme, entahlah mana yang tepat).
Bahwa buku ini alegori hamba dengan Tuhan, saya rasa kurang tepat. Menurut saya, membaca Semua Ikan di Langit seperti menonton serial anime hingga tamat.
Sepanjang cerita saya menerka-nerka apa yang sedang di-alegori-kan oleh Ziggy, penulisnya. Apa benar ia sedang memainkan alegori atau dia sekadar bermain-main dengan imajinasinya. Perasaan serupa sering saya dapat ketika menonton serial anime.
(Paragraf selanjutnya mengandung banyak bocoran. Jika tidak suka dibocorkan, kembalilah setelah selesai membaca.)
Berbeda dengan kebanyakan buku - atau bahkan cerita - Semua Ikan di Langit dituturkan oleh karakter bus Damri trayek Dipati Ukur-Leuwipanjang.
Bukan sebuah kelaziman sebuah cerita dituturkan oleh benda mati. Personifikasi yang dilakukan Ziggy cukup menarik karena kebaruan dan keunikan karakter si bus gendut ini.
Saya - bus ini menyebut dirinya - bercerita tentang dirinya yang dibawa oleh Beliau: seorang anak yang mahakuasa. Keajaiban-keajaiban yang diciptakan Beliau mewujud melalui ikan julung-julung terbang.
Ketimbang sekadar alegori Tuhan dan Hamba, menurut saya novel ini lebih cocok disebut tubrukan ideologi dalam diri penulis. Sebab dalam banyak bagian, berbagai ide dari filsafat dan teologi barat bertemu dengan kisah-kisah dari agama samawi.
Tentu dengan kreativitas dan keleluasaan fiksi, Ziggy menyajikan ide-ide dan kisah-kisah tadi dengan caranya sendiri. Ia merekonstruksi cerita, nilai, dan berbagai hikmah.