Sesudah perang dunia pertama dan sebelum serangan 9 November 2001 di Kota New York, Amerika Serikat, hanya satu alasan negeri Paman Sam ini bertingkah seolah hiperaktif, yakni mengampanyekan demokrasi yang di dalamnya terdapat seperangkat lengkap tentang hak asasi manusia (HAM). Doktrin ini, demokrasi, diyakini lebih manusiawi ketimbang autokrasi di mana kekuasaan pemerintahannya berada di satu tangan/lembaga yang sedikit banyak akan mengancam hak asasi warganya.
Terus terang saja, saya penggemar berat Amerika Serikat karena doktrin tersebut. Bahkan saya agak usil mengatakan orang yang mengaku pro Barat sesungguhnya sedang menyatakan dirinya waras. Ya, kan karena itu juga blok demokrat menang berkali-kali melawan blok autokrat.
Sebut saja, mulai dari autokrat versi fasis di edisi dua perang dunia, versi komunis-satu partai saat perang dingin, dan versi agamais garis keras. Versi yang terakhir ini, agamais, rasanya tak berujung karena AS mencampuradukkannya ke dalam persoalan teroris pascatragedi 9/11.
Nah, dalam tujuh bulan belakangan sampai 24 Juli kemarin, AS membuat penggemarnya geleng-geleng kepala lagi dan lagi. Hal itu lantaran Washington terkesan diam ketika Israel, sahabat mereka dalam memerangi atau bertahan dari pengaruh blok autokrat di Timur-Tengah, meratifikasi produk hukum yang isinya mencabut peran Mahkamah Agung dalam konsep trias politika. Sekarang parlemen Israel bisa meloloskan undang-undang sesuka hati tanpa khawatir dianulir warganya lewat Mahkamah Agung.
Kegilaan PM Netanyahu yang melumpuhkan sistem peradilan jelas telah mengubah Israel menjadi negara autokrasi alih-alih demokrasi. Sementara itu Presiden AS Joe Biden bahkan diberitakan tidak menekan Yerusalem untuk merintangi niatan PM Netanyahu itu. Juga tidak ada ancaman lanjutan dari AS untuk menyikapi isu tersebut, padahal masyarakat prodemokrasi dunia sudah mengipasi Gedung Putih untuk bertindak tegas. Di Israel sendiri telah berlangsung demo besar-besaran sejak Januari lalu sampai sekarang. Maka diamnya AS seolah-olah membuka kedok kepalsuan kampanye demokrasi dan hak asasi mereka selama ini.
Seperti yang Anda sendiri pun tahu, Israel adalah negara demokrasi parlementer yang menganut prinsip trias politika. Indeks Demokrasi yang dirilis The Economist pada 2022 menempatkan Israel di urutan 29, bahkan berada 25 tingkat di atas Indonesia, dan menjadi rangking kelas di antara negara-negara kawasan arab. Artinya demokrasi di Israel itu sangat bagus.
Fakta itu membuat semua orang kecewa dan curiga jika AS tak kunjung mengembargo sekutunya yang baru saja, dalam istilah orang muslim, murtad. Ke mana Amerika Serikat yang dikenal getol mencampuri negeri orang dengan dalih hak asasi dan demokrasi?
Standar ganda AS dalam memosisikan kebijakan geopolitiknya sebenarnya bukan sekali ini saja. Saya masih ingat saat mulanya intelijen dan parlemen AS begitu keras menekan pangeran Saudi, Salman, atas kasus pembunuhan wartawan Jamal Khasoggi. Kolumnis koran Washington Post itu disiksa sebelum dibunuh di gedung konsulat Saudi di Turki lantaran yang bersangkutan memiliki cerita yang menyinggung Kerajaan Saudi dan hendak naik cetak. Meski dikipasi, Presiden Trump saat itu bersikeras tidak ingin ikut campur sehingga AS tidak memiliki sikap resmi terhadap kekejian itu.
Lalu ketika Biden gantian berkantor di Gedung Putih, dia malah mengunjungi Saudi untuk ngemis produk energi yang terdampak dari perang Ukraina. Biden bahkan menjabat tangan Pangeran Salman, si tersangka utama pembunuhan Khasoggi. Padahal dalam kampanyenya, Biden heroik ngata-ngatain Pangeran Salman tentang betapa buruknya Saudi soal hak asasi lantaran tak menindaklanjuti kematian Khasoggi.
Melihat dua kasus itu saja kita jadi pusing tujuh keliling menerka jalan pikiran AS. Mereka sudah seperti negara oportunis. Yang jelas intinya, Presiden AS, entah dari Partai Republik atau Demokrat (AS), sama-sama berstandar tak menentu dalam geopolitik.