Nampaknya sudah menjadi aksioma kalau ibu kota Sumatera Utara, Kota Medan ini, adalah kota yang bertabur kesemrawutan, ketidakjujuran, serta kriminalitas. Gotham City julukannya oleh warga yang merasa bersih, terinspirasi dari kota fiktif dalam serial Batman.
Sebutlah sesuka hati: begal, sabu-sabu, pungli, penipu, sampai maling kelas teri. Di Medan semua itu bukan sekadar "ada" layaknya masalah umum kota besar, melainkan marak. Begitu parah sampai-sampai ada kalimat satire berbunyi, "Kalau khatam hidup di Medan, maka hidup di belahan bumi mana pun bukan lagi soal."
Mengapa demikian, jelas banyak jawabannya. Tetapi bagi rakyat egois seperti kita-kita ini, ditambah pejabat pencitraan, kompak hanya menyalahkan kelompok marginal nan kriminal sebagai penyebab tunggal mengapa Medan seperti neraka. Mungkin saking emosi kita lupa introspeksi diri.
Pertama-tama dalam ilmu kebijakan publik, rakyat tidak boleh disalahkan. Jadi, ketika kriminalitas tumbuh subur, seharusnya mata kita menyorot tajam ke pemerintah dulu alih-alih menghakimi si pelaku yang tentu saja bagian dari rakyat. Oke, silakan memaki pelaku, tetapi lakukan hal yang sama ke pemerintah supaya fair.
Tentu pemerintah! Karena pemerintah-lah yang bertanggung jawab menghadirkan keamanan dan kenyamanan kepada warganya. Pemerintah sudah kita beri segala yang dibutuhkan, mulai dari uang (APBD), aparat keamanan sebagai alat pencegah kejahatan (bukan sebagai tukang pukul yang semena-mena), dan kuasa membikin peraturan.
Pemerintah Medan di tangan Bobby malah ambil jalan pintas dengan memilih menembak mati pelaku kriminal, khususnya begal, ketimbang mencegah dan mengadilinya. Ini jelas membuktikan kalau Bobby sedang lepas tangan dari tanggung jawab. Dia seakan hendak menyingkirkan warganya yang menyimpang, yang padahal seharusnya dia bina. Dan atas alasan itu Bobby mendapat tepuk tangan karena dianggap pahlawan.
Sadarlah wahai Bobby dan kita-kita yang tahunya menghakimi, pembegal ada dan marak juga karena hidup mereka tidak sejahtera. Mereka terpaksa merampok demi sesuap nasi. Logikanya kalau kecukupan, mereka tidak akan ambil risiko jadi penjahat, yang kalau gagal saat beraksi bisa berakibat mati diamuk masa atau polisi.
Oleh karenanya Bobby sebagai walikota gagal membawa kesejateraan seluruh warga. Jangan kabur dong, Bob. Jangan biarkan tangan Anda berlumuran darah...
Sekalipun dibilang kalau pembegal hanya foya-foya beli sabu---bukan untuk makan, tetap saja itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Maksudnya, kenapa warga seolah-olah dibuat gampang mencari sabu? Kalau bandar sabu masih tak bisa diberantas, ya jangan salahkan orang lain.
Ketahuilah bahwa hukum positif tak pernah menyasar para pemakai narkoba. Ya, walaupun hukum kita agak katarak saat membedakan mana pengedar dan pemakai. Tapi ini jelas masih kesalahan pemerintah---kali ini bukan Bobby, melainkan Menteri Yasonna yang sampai sekarang tak kunjung merevisi hukum anti-narkoba.