Lihat ke Halaman Asli

Rio Nur Ilham

Pemerhati

Tantang Penyakit dengan Pilkada

Diperbarui: 21 September 2020   00:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi/google.com

....alasan para pembuat kebijakan untuk tetap melaksanakan pilkada itu sungguh menyedihkan, walau sebenarnya sangat berani. Berani menantang penyakit.

Sampai hari ini, aturan mengenai penyelenggaraan pilkada serentak 2020, UU 06/2020, menjadi acuan Pemerintah, DPR, dan KPU untuk ngotot melaksanakan Pilkada di tengah pandemi.

Sebelumnya pilkada akan dilaksanakan pada September ini, tetapi berkat Perppu 02/2020, yang sekarang menjadi UU 06/2020, membuat pelaksanaannya diundur akibat situasi yang tidak mendukung. Namun sayang, pengundurannya hanya sampai awal Desember.

Bukan hanya karena sebuah aturan yang mengikat. Mereka repot memikirkan politik anggaran yang nantinya, anggaran untuk pilkada yang sudah dicairkan dalam tahun anggaran ini akan menjadi sia-sia bila pilkada diundur sampai tahun anggaran baru. Berbagai alasan teknis KPU lainnya menjadi argumen tambahan untuk tetap melaksanakan Pilkada Desember nanti. 

Di lain institusi, Kemendagri turut khawatir apabila pilkada diundur kembali. Kekosongan pemimpin di daerah dapat menyebabkan daerah tersebut lumpuh, karena pejabat pelaksana tidak memiliki kekuatan penuh untuk memerintah. Hal itu menakutkan bagi mereka, apalagi bila diundur berlama-lama.

Sangat realistis alasan itu. Namun, bila disandingkan dengan informasi mengenai sangarnya penyakit yang tengah mewabah, alasan para pembuat kebijakan untuk tetap melaksanakan pilkada itu sungguh menyedihkan, walau sebenarnya sangat berani. Berani menantang penyakit.

Beratus ribu orang di Indonesia terpapar, yang mati ribuan, dan yang cemas tak terhitung, bahkan sebagian kandidat yang akan bertarung pun tak luput diterkam corona. Meski kasus positif Covid-19 terus bertambah, para pembuat kebijakan masih bergeming terhadap opini yang berharap pilkada ditunda sampai setidaknya vaksin ditemukan, seperti yang diusulkan Jusuf Kalla baru-baru ini. 

Segala opsi di masa-masa ini mungkin sangat dilematis dan serba salah. Namun, pemerintah yang kuat harus menunjukkan eksistensinya dalam mengambil keputusan dengan mengutamakan rakyat banyak. Semua sepakat bahwa keselamatan warga adalah hukum tertinggi. Lantas mengapa pemerintah menantang penyakit dengan alasan hajatan demokrasi? 

Harus diketahui bahwa kualitas pemilu dalam situasi sulit seperti ini sangat tidak dianjurkan untuk dilaksanakan. Ajang penonjolan diri para calon dikhawatirkan berjalan tidak dengan basis kejujuran, mengingat kandidat hanya perlu menggunakan pandemi untuk panggungnya sendiri daripada repot-repot melaksanakan kampanye dan memaparkan program pembangunan. 

Pemilu demokratis yang baik adalah yang dilaksanakan dengan sepenuh hati, sekuat tenaga dan penuh kejujuran. Ajang itu harus mencakup seluruh aspek, mulai dari menghadap-hadapkan para kandidat untuk berdebat keras dengan bahasan luas, kampanye yang berkeringat, dan berbagai strategi yang berdarah-darah agar pihak yang kalah nantinya akan beroposisi dengan basis kerakyatan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline