Sebelum virus HIV dikenali atau ditemukan dan sebelum penyakit yang ditimbulkannya berhasil diidentifikasi, sindrom penurunan imun tubuh akibat infeksi virus tersebut disebut gay syndrome.
Penyebutan tersebut berhubungan dengan latar belakang para penderita awal yang terdeteksi tahun 1981 di komunitas pria homoseksual dan pengguna narkoba di Amerika Serikat.
Tiga tahun kemudian (1984) penyakit tersebut secara resmi disebut HIV-AIDS, setelah para ilmuwan berhasil mengidentifikasi AIDS dan virus penyebabnya yakni HIV.
Itulah nama yang dikenal umum hingga sekarang dan kini kita memiliki sebutan lebih sopan terhadap para penyintas yakni ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS).
Akantetapi, konotasi negatif yang sudah termuat dalam penamaan pertama tersebut terus melekat hingga sekarang (4 dekade sejak penemuan kasus pertama), sekalipun berbagai data telah menunjukkan bahwa banyak ODHA adalah orang-orang biasa, seperti masyarakat pada umumnya, tidak memiliki perilaku-perilaku menyimpang secara sosial.
Dari berbagai studi selama 4 dekade ini juga kita ketahui bahwa HIV-AIDS tidak mengenal jenis kelamin, suku, agama atau negara. Artinya para korban tidak hanya dari kalangan jenis kelamin tertentu atau oritentasi seks tertentu, tidak hanya dari suku, agama atau negara tertentu.
Maka menggenalisir semua ODHA sebagai pelaku perbuatan menyimpang adalah tindakan tak berdasar serta tidak manusiawi sama sekali.
Mitos tentang Kutukan
Stigma paling mengerikan kepada ODHA berasal dari orang-orang yang beragama secara konservatif dengan cakrawala berpikir yang sempit. Mereka meyakini bahwa ODHA dikutuk Tuhan. Stigma tak manusiawi seperti ini telah muncul sejak kasus HIV-AIDS mendapat perhatian global.
Sebagai contoh, pada bulan Juli tahun 2000 dalam sebuah simposium internasional yang diadakan oleh forum keagamaan di Afrika, disampaikan bahwa penderita HIV-AIDS terinfeksi penyakit tersebut karena dosa-dosa mereka, dan mereka pantas mendapatkan penderitaan tersebut (Latifa dan Purwaningsih, 2011).